Skip to main content

Edisi 1 Juni 2013

Oleh : MUHAMMAD ZAINAL

Dosen STIH Zainul Hasan Kraksaan Probolinggo

 

ABSTRAK

Putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan pengakuan hak keperdataan anak dari luar perkawinan dengan ayah biologis membawa angin segar. Permohonan uji material Undang-undang Perkawinan ini diajukan Machica Mochtar demi memperjuangkan nasib anaknya yang disebut sebagai putra dari mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono.

Meski melalui jalan berliku dan proses yang tak mudah, gugatan uji materi atas UU No.1/1974 tentang Perkawinan akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK Nomor 46/PUU-IIIV/2010 tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan permohonan dengan mereview salah satu pasal yang digugat, yakni pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya’ menjadi ‘anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Ini adalah terobosan hukum kesekian yang dilahirkan MK di era kepemimpinan Mahfud MD, Sudah lazim rasanya, sebuah putusan yang progresif semacam ini akan menuai berbagai kontroversi dan cercaan dari berbagai pihak, terutama yang pro-status quo, meski tak sedikit juga yang mendukung putusan MK tentang status anak di luar nikah ini.

Bagi penulis secara pribadi, putusan MK ini menjadi pintu masuk mengembalikan peran negara yang digariskan dalam konstitusi: melindungi segenap warga negara Indonesia, termasuk anak di dalamnya. Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), tiap-tiap anak pada hakekatnya adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah secara hukum positif atau di luar perkawinan yang semacam itu. Sehingga tiap anak berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan, serta berbagai pelayanan yang diberikan negara pada tiap warganya. Hak semacam ini melekat kepada tiap individu yang lahir ke muka bumi. Kesemua hak tersebut harus dijamin oleh negara dengan piranti hukum yang ada serta aparatus penyelenggaranya, tanpa memandang status perkawinan orang tua si anak. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menyangkut HAM.

Semangat dibalik pengambilan keputusan para hakim MK, menurut hemat penulis telah memenuhi kriteria keadilan bagi seorang anak, sebagai individu yang memiliki hak melekat untuk dilindungi oleh negara. Anak, dalam kasus perkawinan ‘tidak sah’, tidaklah layak menyandang status bersalah, baik secara hukum negara maupun norma agama, karena kelahirannya di luar kehendaknya sendiri.JURNAL M. ZAINAL

Tinggalkan Balasan