Skip to main content

Edisi 1 Juni 2015

Oleh: Suratman *)

 

  1. Pendahuluan

Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pengusaha sebagai pimpinan perusahaan berkepentingan atas kelangsungan dan keberhasilan perusahaan dengan cara meraih keuntungan setinggi-tingginya sesuai modal yang telah ditanamkan dan menekan biaya produksi serendah-rendahnya (termasuk upah pekerja/buruh) agar barang dan/atau jasa yang dihasilkan bersaing di pasaran. Bagi pekerja/buruh, perusahaan adalah sumber penghidupan sehingga akan selalu berusaha agar perusahaan memberikan kesejahteraan yang lebih baik dari yang telah diperoleh sebelumnya. Kedua kepentingan yang berbeda ini akan selalu mewarnai hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh dalam proses produksi barang dan/atau jasa.

Perbedaan kepentingan ini harus dicarikan harmonisasi antara keduanya karena, baik pekerja/buruh maupun pengusaha mempunyai tujuan yang sama yaitu menghasilkan barang dan/atau jasa sehingga perusahaan dapat terus berjalan. Apabila karena satu dan lain hal perusahaan terpaksa ditutup maka yang rugi bukan hanya pengusaha karena telah kehilangan modal, tetapi juga pekerja/buruh karena kehilangan pekerjaan sebagai sumber penghidupan. Didorong adanya tujuan yang sama ini, maka timbul hubungan yang saling bergantung antara pengusaha dengan pekerja/buruh dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang dikenal dengan istilah hubungan industria.[1]

Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan.

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, pemerintah membentuk lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) di daerah tingkat I dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) yang berkedudukan di Ibu kota negara. Penyelesaian perselisihan perburuhan dilakukan oleh P4D dan P4P secara musyawarah berdasarkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, keadilan dan kepentingan negara. Keanggotaan P4D dan P4P terdiri atas unsur  pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah.

Penyelesaian oleh P4D dan P4P bersifat sangat cepat karena hukum acaranya sangat sederhana dan pengusaha maupun buruh dibebaskan dari segala biaya perkara. Putusan P4D yang tidak dimintakan banding ke P4P dan putusan P4P yang tidak diveto Menteri Tenaga Kerja, bersifat mengikat dan final sehingga harus dilaksanakan oleh para pihak yang berselisih.

[1] Maimun, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, halaman 101

Sekilas Tentang Perselisihan Hubungan Industrial

Tinggalkan Balasan