Skip to main content

PERAN PEMERINTAH DALAM PENYELESAIAN KDRT

PERAN PEMERINTAH DALAM PENYELESAIAN KDRT

(Studi Terhadap Pendekatan Penanggulangan KDRT di Indonesia)

Oleh :  Husni Mubarok

Abstrak

Undang undang No. 23 Tahun 2004 merupakan kebijakan publik yang bertujuan menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Meski undang undang ini sarat dengan nilai nilai yang dipengaruhi oleh pemahaman tentang hak asasi manusia dan kesetaraan gender, yang intinya memberlakukan kesetaraan laki laki dan perempuan,  namun dalam pemberlakuannya di Indonesia masih belum mampu menekan tingkat kekerasan dalam rumah tangga dinegara ini.

 Disejumlah daerah yang nilai nilai budaya patriarkhi masih tinggi,  tingkat kekerasan dalam rumah tangga sangat memprihatinkan. Sehingga UU No. 23 Tahun 2004 kurang berjalan efektif. Bahkan tidak jarang, dalam implementasi UUPKDRT, terdapat kontradiksi kebijakan pejabat disejumlah daerah, sehingga usaha menanggulangi KDRT berjalan stagnan bahkan mengalami kemunduran.

 Pendahuluan

Komisi nasional perempuan melaporkan terjadinya peningkatan jumlah kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan. Pada Tahun 2003, terdapat 7.787 kasus; Tahun  2004 meningkat  56% menjadi 14.020 kasus; Tahun 2005 meningkat 69% menjadi 20.391 kasus. Tercatat pada Tahun 2010 ada 105.103 kasus KDRT yang terjadi di 33 Provinsi. Pada Tahun 2012, kekerasan terhadap kaum perempuan meningkat menjadi 119.107 kasus.

Statistika ini dikumpulkan dari 395 organisasi yang menangani kasus KDRT, dan dari jumlah tersebut, 95, 61% terjadi diranah personal. Bahkan  data catatan akhir Tahun 2014 komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan menyebutkan peningkatan sebanyak 20.000 kasus dibandingkan Tahun 2013. Dan catatan akhir Komnas Perempuan menunjukkan sepanjang Tahun 2014 terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan . Sebanyak 68 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan domestik dan rumah tangga (KDRT) dengan masyoritas korban ibu rumah tangga dan pelajar. Bentuk bentuk kekerasan meliputi penelantaran tanggung jawab, penganiayaan jasmani dan psikis, serta pernikahan paksa  ataupun pernikahan dini[1]. Adapun data yang dihasilkan Komnas Perempuan sebagian besar diperoleh dari data kasus/perkara yang ditangani oleh 359 pengadilan agama ditingkat kabupaten/kota yang tersebar di 30 provinsi di Indonesia.[2]

Sementara menurut data kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPPPA), pada Tahun 2009 kasus KDRT yang di catat KPPPA berdasar data kepolisian sebanyak 148.586 kasus; Tahun 2010 berjumlah 105.103 kasus; memasuki Tahun 2011 berjumlah 119.107. terkait jumlah kasus KDRT yang terus meningkat dari Tahun ke Tahun, sebenarnya masih banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak terungkap. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga seperti puncak “gunung es” karena banyak kekerasan dalam rumah tangga yang “tersembunyi” dari publik.

Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terus saja terjadi dan meningkat dari Tahun ke Tahun, walau pemerintah  sudah mengeluarkan kebijakan publik untuk menghapus kekerasan daam rumah tangga melakukan perlindungan terhadap perempuan yang dianggap kelompok rentan.

Kebijakan tersebut diwujudkan dengan dibentuk dan diberlakukan undang undang Nomor. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disebut UUPKDRT). Dengan demikian telah terjadi ketidaksesuaian antara keinginan pemerintah dengan kenyataan yang ada, sehingga menimbulkan pertanyaan , mengapa UUPKDRT tidak berlaku efektif

Tulisan ini akan memfokuskan kajiannya pada pola pendekatan penanggulangan KDRT, serta kendala yang terjadi disejumlah daerah di Indonesia.

 

Undang Undang sebagai Perwujudan Kebijakan Publik

Harorl D. Lassel dan Abraham Kaplan mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program pencapaian tujuan,nilai nilai dan praktek yang terarah . James A. Andersen mengartikan sebagai “ serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.”

Kebijakan publik menurut Thomas R Dye adalah “apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (Is what ever government choos to do or not to do), artinya, jika pemerintah memilih sesuatu, pasti ada tujuannya. Kebijakan pemerintah terwujud pada tindakan, bukan keinginan semata mata. Dengan demikian, dalam kebijakan publik terkandung seperangkat nilai yang harus ditaati masyarakat. Nilai nilai pemerintah,berbeda dengan nilai nilai yang ada dalam masyarakat.

Menurut David Easton, pemerintah secara sah dapat memaksakan peberlakuan nilai nilai itu karena pemerintah dapat berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu kepada masyarakat. Pilihan pemerintah tersebut diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai nilai dalam masyarakat, karena pemerintah adalah penguasa dalam sebuah sistem politik yang terlibat dalam masalah sehari hari.

Sedangkan tentang identifikasi dan perumusan masalah dalam pembuatan kebijakan publik, sangat ditentukan oleh pelaku yang terlibat, baik secara individual maupun kelompok dalam masyarakat. Sedangkan menurut Esmi Warassih, proses transformasi dari keinginan sosial menjadi peraturan , baik dalam kontek politis atau sosiologis , tidak hanya terjadi pada saat pembentukan peraturan tetapi juga pada tahap bekerjanya produk hukum.[3]

Dalam realitas peningkatan KDRT, telah mendorong peemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik dalam rangka menghapus KDRT. Kebijakan publik tersebut bertujuan memberikan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan terhadap setiap warga Negara, serta menegaskan bahwa KDRT merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, kejahatan terhadap martabat manusia dan diskriminasi. Kebijakan publik secara khusus memberikan perlindungan kepada perempuan sebagai kelompok rentan yang diwujudkan dengan dibentuk dan diberlakukannya undang undang Nomor. 23 Tahun 2004.

Pemaknaan Kekerasan dalam Rumah Tangga  Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 2004.

Pembahasan mengenai pemaknaan kekerasan dalam rumah tangga menurut UUPKDRT ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama, faktor faktor yang mempengaruhi pembentukan undang undang  No. 23 Tahun 2004. UU No. 23 Tahun 2004 adalah perwujudan dari kebijakan publik, dengan demikian, dalam peraturan tersebut terkandung nilai nilai yang dikehendaki pemerintah dan diberlakukan pada masyarakat.

Sebagaimana yang diuraikan pada tujuan pembentukan undang undang ini, bahwa pemerintah berkeinginan memberikan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan bagi warga negaranya, dan pemerintah menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia serta kejahatan bagi martabat manusia. Hak untuk rasa aman dan bebas dari ketakutan adalah salah satu bentuk dari hak asasi individual yang melekat pada pribadi manusia. Sedangkan kebijakan untuk melakukan perlindungan kepada kaum perempuan, menunjukkan bahwa peraturan tersebut dipengaruhi paham feminisme.

Pengaruh hak asasi manusia  dan paham feminisme, terjadi karena peran aktif pemerintah dalam berbagai kegiatan tingkat nasional dan internasional. Misalnya pada tanggal 29 Juli 1980, dalam konferensi sedunia dasawarsa PBB bagi perempuan di Kopenhagen, Denmark, pemerintah Indonesia menandatangani konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan mengesahkan Undang Undang No 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan pada tanggal 24 juli Tahun 1984.

 Kemudian pada tanggal 9 oktober 1998 pemerintah mengeluarkan keputusan presiden Republik Indonesia No 181 tentang Komite Nasional Anti Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan. Pada tanggal 6 Oktober 1999, Majlis umum PBB mengadopsi protokol atau konvensi Cedaw, atau upaya strategis untuk memberdayakan perempuan dalam menghapus diskriminasi terhadap dirinya dan menegakkan hak asasi perempuan.

Pemerintah Indonesia pada Tahun yang sama, mengeluarkan Undang undnag No. 30 tentang hak asasi manusia, khususnya tentang hak asasi perempuan. Selanjutnya bulan desember 2000 dikeluarkan instruksi presiden  No 9 tentang pengarus-utamaan gender , dan Mei 2003, dewan perwakilan rakyat mengajukan hak inisiatif, yaitu mengajukan rancangan undang undang tentang penghapusan  kekerasan dalam rumah yang disetujui pemerintah Indonesia pada tanggal 22 Desember 2004.

Menurut pemahaman yang berlaku internasional, hak asasi manusia adalah hak yang ada sejak janin tumbuh dalam kandungan ibu, dan baru akan berakhir saat manusia meninggal dunia. Hak tersebut tidak dapat di intervensi atau ditiadaakn orang lain, karena hak asasi manusia  adalah hak hak yang mendasar dan menyatu dalam jati diri manusia secara universal. Hak asasi manusia dantaranya adalah hak untuk hidup, dan hak untuk kebebasan yang di ikuti dengan adanya tujuan dari hak. Tujuannnya yaitu kebahagaan dan kesejahteraan bagi manusia. Adanya hal hal tersebut, maka terdapat persamaan hak pada sesama manusia, baik dalam bidang politik maupun hukum sehingga tidak ada gologan yang memiliki hak istimewa.

Setiap manusia dilahirkan bebas dan setara, artinya, setiap manusia memiliki hak hak yang tidak dapat dilepaskan dari dirinya (hak alamiah), hak alamiah tersebut terlepas dari segala adat istiadat atau aturan tertulis. Hal alamiah mendahului posisi legal, kultural, ekonomi dan sosial manusia dalam satu komunitas.

Hak asasi manusia berlaku baik untuk perempuan maupun laki laki, dan menjamin setiap individu untuk hidup dengan martabat dan kebebasannya. Hak asasi manusia secara tradisional mengatagorikan bahwa kekerasan terjadi karena tidak menyertakan pereampuan didalamnya dan meminggirkan isu isu perempuan . hak untuk rasa aman dan bebas dari ketakutan adalah salah satu bentuk dari hak asasi individual yang melekat pada manusia.

Pasal 1 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia mendefinisikan hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat keberadaannya pada manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi Negara, hukum ,pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pemahaman hak asasi manusia di tingkat Internasional , khususnya hak pada perempuan , dalam perkembangannya telah melahirkan hukum feminis, yaitu suatu pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum yang melahirkan diskriminasi kepada kaum perempuan. Feminisme memiliki komitmen umum untuk kesetaraan, yaitu pengakuan setara antara laki laki dan perempuan.pemikiran tersebut telah mengubah hubungan perempuan sebagai istri atau ibu rumah tangga dan laki laki sebagai suami atau kepala rumah tangga menjadi setara.

Feminism menentang pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dan menempatkan pengalaman perempuan sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dierhitungkan. Patricia Cain menyebutkan bahwa kajian hukum baru bisa dikatakan sebagai teori feminis jika mendasarkan diri  pada pengalaman perempuan. Penekanan pengalaman perempuan berguna untuk identifikasi ekslusivitas hukum , khususnya pengalaman penderitaan perempuan yang tidak dipahami dan direfleksikan oleh pengadilan dan peraturan, atau terminimalisir karena pengalaman perempuan tidak secara cukup terekspresikan dalam hukum.

Feminisme memberikan penalaran hukum baru, yaitu dengan membongkar kebiasaan gender dalam perundang undangan. Standar dan konsep yang tampak byektif dan netral ternyata telah menimbulkan dampak kerugian bagi kaum perempuan.

Niken Savitri menjelaskan bahwa pandangan feminism memiliki lima hal penting dalam berfikir kritis. Hal hal tersebut antara lain : adanya bias gender secara implisit, jeratan atau ikatan ganda dan dilemma dalam perbedaaan, reproduksi model dominasi laki laki, dan membuka pilihan pilihan perempuan.[4]  Walaupun dipengaruhi HAM dan dan kesetaraan gender, namun dalam pembuatannya UUPKDRT dipengaruhi pandangan maskulin. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari sejarah pembentukannya , dimana sejumlah anggota DPR dalam periode yang merumuskan dan mengesahkan UUPKDRT tersebut ,hanya 11 persen perempuan dan 89 persen laki laki.

 Hal ini menjadikan suara perempuan tidak dominan. Kepentingan perempuan , makna keadilan bagi perempuan dan pengalaman perempuan tidak mendapat penekanan dalam perumusan UUPKDRT. Pengaruh pandangan maskulin dan rumusan UUPKDRT, dapat dijumpai  pasal 51, 52,  dan 53 yang menempatkan tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk fisik, psikis, dan seksual yang dilakukan suami kepada istri sebagai delik aduan.

Kedua, faktor –faktor yang mempengaruhi pelaksanaan UUPKDRT. Paham positivisme menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaknya memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan sebagai obyek harus dilepaskan dari segala macam prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.

Didasarkan dari metodologi tersebut, jika diterapkan dibidang hukum maka mengharuskan hukum terlepas dari pemikiran meta yuridis sebagaimana pemikiran hukum kodrat, hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif, sebagai norma norma posistif. Hubungan dengan hukum tertulis , aliran positivisme menganggap bahwa tidak ada hukum lain kecuali perintah penguasa yang telah dituliskan.

Hukum di Indonesia dipengaruhi oleh positivisme bahkan cenderung legisme, dan lahir dari pemikiran laki laki sebagai kelompok dominan dalam perbuatan dan penerapan hukum. Positivisme masuk ke Indonesia    melalui hukum Belanda yang dibawa ketika menjajah Indonesia.

Peraturan hukum sebelumnya adalah het wetboek van strafrecht voor de europeanen  untuk golongan Eropa, dan het wetboak  van strafrecht voor de inlander en daarmede Gelijkgestelden untuk golongan pribumi dan orang orang yang dipersamakannya.

Melalui pasal 3 UU No 1 dikeluarkan oleh pemerintah militer Jepang , semua undang undang dan  peraturan dari pemerintah Hindia Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang. Ketika Indonesia meredeka, KUHAP tersebut masih diberlakukan, berdasarkan peraturan peralihan ketiga dari undang undang dasar 1945.[5]

Faktor yang Mempengaruhi KDRT di Indonesia

Gejala KDRT disejumlah daerah di Indonsia memiliki banyak faktor. Perlu diketahui, menurut  salah satu lembaga hukum yang dibentuk oleh asosiasi perempuan Indonesia yang menentang keras adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga  ( KDRT), ada beberapa faktor pemicu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia beberapa diantaranya disebabkan;

  1. Persoalan ekonomi
  2. Persoalan keturunan
  3. Adanya orang ketiga baik Wanita Idaman Lain (WIL) mapun Pria Idaman Lain (PIL)
  4. Budaya mahar

Secara umum keempat faktor inilah yang sering menjadi alasan terjadinya KDRT.

          Selain keempat faktor, masih lestarinya budaya patriarki menjadi kendala tindakan KDRT masih banyak terjadi. Istilah patriarki merupakan istilah yang digunakan secara lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan laki-laki menguasai wanita dan untuk menyebut sistem yang membuat tetap dikuasai melalui bermacam-rnacam cara. budaya patriarki ditengah kehidupan masyarakat telah menimbulkan terjadinya sikap apriori dan diskriminatif terhadap kaum wanita.

 Sylvia Walby dalam buku “Theorizing Patriarchy” menyatakan bahwa patriarki merupakan suatu sistem dari struktur dan praktek-praktek sosial dimana kaum laki-laki menguasai, menindas, dan menghisap perempuan. Selanjutnya Bashin Kamla menyatakan,bahwa melekatnya sistem tesebut karena ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan dan bahwa perempuan harus dikontrol dan dimiliki kaum laki-laki.

Adapun bentuk-bentuk kekuasaan dan kontrol sistem patriarki terhadap perempuan menurut. F. Nadia meliputi[6]:

  1. Penyiksaan emosi, yaitu membuat istri selalu bersalah dan memojokkan posisinya dalam rumah tangga.
  2. Penyiksaan secara ekonomi, membuat istri tergantung secara ekonomi, tidak boleh bekerja, keuangan dipegang oleh suami.
  3. Penyiksaan seksual, memperlakukan istri atau pasangannya hanya sebagai obyek seksual.
  4. Ancaman, ini meliputi: mengancam akan menyiksa, mengancam akan membawa pergi anak, ancaman akan membunuh, dan lain-lain.

            Selain beberapa contoh tindakan KDRT dalam sistem patriarki sebagaimana disebutkan di atas, korban KDRT acapkali “bungkam” karena menganggap bahwa persoalan rumah tangga merupakan masalah privat. Karena merupakan masalah masalah pribadi, maka masalah masalah KDRT dianggap sebagai rahasia keluarga.

            Dan jika diceritakan terhadap orang lain, korban dianggap menebarkan aib keluarganya sendiri. Dan pemahaman tersebut kebanyakan masih tertanam dibenak kaum perempuan Indonesia yang berkeluarga. Padahal, anggapan ini membuat masalah KDRT sulit menemukan titik pemecahannya.

            Untuk menghindari terjadi KDRT, ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan bagi pasangan yang hendak membina keluarga. Ahmadi (2009) menyebutkan, beberapa faktor tersebut diantaranya adalah faktor objektif dan faktor subjectif. Faktor Objectif dalam hal ini berarti menyangkut kesiapan dalam rumah tangga dalam hal ekonomi, kedewasaan mental. Sedangkan faktor subjectif yaitu adanya dasar saling cinta mencintai . sehingga dalam membentuk rumah tangga yang baik, seseorang diperlukan mandiri secara moril dan materiil.[7]

Dengan seorang memiliki kemandirian secara moril dan materiil, diharapkan harmonisasi hidup tercipta. Pada akhirnya, perbedaan bukan alasan untuk mendudukkan satu sama lain, tetapi sebaliknya dengan perbedaan maka perlu saling melengkapi dan saling bekerja sama untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik dan lebih berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa.

Adapun ruang lingkup Pelaku dan Korban KDRT menurut rancangan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga, meliputi:

  1. Suami, isteri atau mantan Suami dan Isteri
  2. Orang Tua, dan anak-anak
  3. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah
  4. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang lain yang menetap di sebuah rumah tangga
  5. Orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau pernah tinggal bersama.

Pola Penyelesaian KDRT di Indonesia

 

            Di Indonesia, dalam menanggulangi kejahatan (criminal policy) seperti KDRT ada dua pendekatan. Pertama, pendekatan sarana penal (hukum pidana) pendekatan ini lebih bersifat represif dan Kedua, pendekatan non penal (bukan hukum pidana) dan pendekatan ini lebih bersifat preventif. Di Indonesia, penanggulangan KDRT menggunakan hukum pidana  bisa ditempuh korban dengan mengajukan laporan di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) disejumlah instansi kepolisian yang berada dibawah naungan satuan reserse kriminal (Satreskrim).

Adapun mengenai sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d pasal 53 KUHP. Khusus untuk kekerasan KDRT di bidang seksual, berlaku pidana minimal 5 Tahun penjara dan maksimal 15 Tahun penjara atau 20 Tahun penjara atau denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara 25 juta s/d 500 juta rupiah (Baca: pasal 47 dan 48 UU PKDRT).

Dan perlu diketahui juga, bahwa pada umumnya UU No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT, bukan hanya ditujukan kepada seorang suami, tapi juga juga bisa ditujukan kepada seorang isteri yang melakukan kekerasan terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya atau pembantunya yang menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut.

Adapun pendekatan penanggulangan KDRT melalui pendekatan di luar hukum pidana (Non-Penal Policy) dilakukan pemerintah dibawah kordinasi kementrian  pemberdayaan  perempuan dan perlindungan anak. Di era desentralisasi, nama nama lembaga antar daerah tentu berbeda satu dengan yang lainnnya, namun dalam operasionalnya, lembaga tersebut lebih menekankan pencegahan terjadinya KDRT. Jadi non-penal itu dapat diartikan segala usaha yang bersifat non-yuridis guna menanggulangi timbulnya kejahatan. Dan usaha-usaha non-penal ini mempunyai posisi sangat strategis karena lebih mempusatkan pada pencegahan.

Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa meski pendekatan sarana penal dan non penal namun KDRT masih terus berlangsung, dan bahkan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dari fakta peningkatan tindakan KDRT yang terjadi, tentu evaluasi harus dilakukan pemerintah terhadap program penanggulanagn KDRT. Sebab dilapangan, minimnya partisipasi kaum perempuan, serta terbatasnya organisasi non pemerintah (NGO) dalam mengawal penghapusan KDRT menjadi salah satu alasan mengapa KDRT masih terus terjadi. Dalam hal ini, pemerintah harus menyadari bahwa tangan kekuasaan yang dimiliki melalui dua jalur tersebut terbatas, dan perlu partisipasi masyarakat untuk turut serta.

Kendala Penyelesaian Masalah KDRT di Indonesia

Di Indonesia, kendala  penyelesaian masalah KDRT sangat komplek. Mengingat permasalahan KDRT banyak memiliki akar masalah seperti permasalahan ekonomi, budaya dan tingkat pendidikan yang masih rendah. Kendala penyelesaian KDRT semakin rumit ketika pemerintah kurang sensitiv terhadap kebutuhan masyarakat dalam masalah kesejahteraan.

Dalam hal ini, Negara juga ikut berperan dalam prilaku masyarakat yang “lepas kendali”  karena keputusasaan hidup, yang pada akhirnya melakukan tindak kekerasan terhadap orang-orang terdekatnya sebagai bentuk pelampiasan. Sejatinya, pemikiran hukum yang benar adalah yang bertolak dari paradigma “hukum untuk manusia”, dengan demikian ujian terhadap keberhasilan suatu produk hukum adalah apabila mampu membuktikan bahwa produk hukum itu berorientasi kepada manusia, dengan melayani, mensejahterakan dan membahagiakan manusia.[8]

 Dalam hal ini, hukum bukan hanya berupa sejumlah besar perundang undangan yang statis, melainkan menyimpan suatu potensi kekuatan yang dinamis yang sarat dengan pesan, moral dan cita cita. Perundang undangan hanyalah sarana untuk menyampaikan keinginan, perundang undangan bukan hanya teks formal , melainkan sarat dengan kehendak.[9] Oleh karena itu, tidak mungkin mengabaikan peran manusia dalam bekerjanya hukum. Sehingga ketika hukum mampu memanusiakan manusia, tentu berbagai manfaat akan bisa diraih.

Dalam permasalahan KDRT, akar masalah yang terjadi seperti rendahnya pendidikan dan kesejahteraan, harus mampu ditekan seminimalisir mungkin oleh pemegang kebijakan di Negara ini. Artinya selain bisa mengeluarkan kebijakan UUPKDRT, pemerintah harus berperan aktif dalam menjaga keharmonisan rumah tangga dengan berbagai program kesejahteraan masyarakat. Sehingga hukum bukan hanya untuk dikonstruksikan oleh penguasa, namun juga hukum sebagai prilaku. Sehingga peran peemerintah dalam penyelesaian KDRT lebih progresif.

Mengkaji konsep sosial, kebijakan, bahkan hukum tidak bisa dilepaskan dari tatanan sosial (order) yang melatarbelakanginya. Suatu konsep, kebijakan bahkan hukum bisa saja tidak relevan karena berada pada tatanan sosial yang sudah berubah.[10]  Oleh karena itu, untuk memahami posisi dan kapasitas hukum dalam struktur masyarakat yang pertama harus dipahami adalah kehidupan sosial budaya masyarakat tersebut secara utuh dan komprehensip.[11]

Selain kendala yang disebutkan di atas, tidak jarang dalam penyelesaian KDRT, keijakan pemerintah daerah di Indonesia yang kontradiktif menjadi penyebab mengapa UUPKDRT tidak berjalan maksimal. Beberapa contoh yang dirilis oleh Komnas perempuan melalui catatan Tahunan miliknya pada 2014 disebutkan, bahwa terdapat beberapa daerah yang kurang responsip terhadap KDRT.

Beberapa diantaranya adalah kasus kriminalisasi terhadap korban KDRT dipengadilan negeri Watampone, korban E (17) malah didakwa melakukan penelantaran rumah tangga karena dianggap meninggalkan rumah untuk sekolah. Bahkan pada 2014, peraturan bupati Lombok timur nomor 26 tentang pelaksanaan peraturan daerah nomor 3 Tahun 2013 tentang lain lain pendapatan asli daerah yang sah (tentang izin poligami).

Selain itu ada qonun tentang hukum jinayat dan qonun pokok pokok syariat Islam di Aceh yang mengatur persoalan zina, perkosaan dan penerapan hukum cambuk sebagai salah satu cara penghukuman, bahkan memperkuat imunitas bagi pelaku, serta kebijakan diskrimniatif  baru (dari total 365 kebijakan diskriminatif) yang tersebar diseluruh Indonesia.[12]

Penutup

Simpulan

Uraian diatas dapatlah disimpulkan sebagai berikut dalam penyelesaian KDRT dimilki dua pendekatan, yakni sarana penal dan non penal. Meski sarana penal memiliki efek jera bagi pelaku KDRT, sayangnya hal tersebut tidak mampu menekan tingkat KDRT yang terjadi disejumlah daerah di Indonesia. Belum siapnya pemerintah menekan akar masalah yang terjadi dalam KDRT menjadi alasan, mengapa tindakan KDRT semakin meningkat dari Tahun keTahun.  Adapun tindakan kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan fisik, psikis dan ekonomi

Dalam bentuk kekerasan diatas, di Indonesia pelakunya lebih banyak didominasi kaum laki laki (suami), sedangkan korban paling dominan dialami  kaum perempuan (istri).

Meski KDRT dialami kaum perempuan (istri) namun mereka masih lebih memilih tinggal bersama pelaku tindak KDRT karena takut si suami akan menjadi lebih keras jika si istri mencoba untuk meninggalkannya. Beberapa wanita khawatir bahwa mereka akan kehilangan anak dan kebahagian saat bersama.

Adapun pendekatan penanggulangan KDRT melalui pendekatan di luar hukum pidana (Non-Penal Policy) dilakukan pemerintah melalui  lembaga  pemberdayaan kaum perempuan. Dalam pemerintahan otonomi daerah, nama nama lembaga antar daerah tentu berbeda satu dengan yang lainnnya, namun dalam operasionalnya, lembaga tersebut lebih menekankan pencegahan terjadinya KDRT. J adi non-penal itu dapat diartikan segala usaha yang bersifat non-yuridis guna menanggulangi timbulnya kejahatan.

Perlu diketahui, usaha-usaha non-penal ini mempunyai posisi sangat strategis karena lebih mempusatkan pada pencegahan.

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” Balai Pustaka.

Nadia F. Ita., Kekerasan Terhadap Perempuan Dari Perspektif  Gender, Diakses 9 Agustus 2015

Lampiran 2, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 1993, Bandung,2000

  1. Suhandi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional.

Harian Kompas, Edisi 27 April 2015

Lembar Fakta catatan Tahunan  (Catahu) Komnas Perempuan 2014.

Warassih, Esmi, 1991, “ Implementasi Kebijaksanaan Pemerintah Melalui Perundang Undangan dalam Perspektif Sosiologis,” Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Surabaya : Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.

Savitri, Niken 2008, “ Ham Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Bandung. Refika Aditama.

Ahmadi, D.H. 2009, “Psikologi sosial,” Jakarta: Rineka Cipta

Raharjo, Satjipto, “Hukum Progresif Berhadapan dengan Kemapanan”, Jurnal Hukum Progresif, Vol. 4. Nomor 1 April  2008, Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

———————-, “Hukum Progresif Berdamai dengan Alam”, Jurnal Hukum Progresif, Vol. 3 No 2 Oktober  2007, Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

Samekto , FX. Adji, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Tatanan Sosial yang Berubah”, Jurnal Hukum Progresif , Vol. 1 No. 2 Oktober 2005, Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

Nurjaya, I Nyoman,” Pembangunan Hukum Negara dalam Masyarakat Multikultural : Perspektif Hukum Progresif, Vol. 3  No. 2 Oktober 2007 , Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

[1] Harian Kompas, Edisi 27 April 2015

[2] Lembar Fakta catatan Tahunan  (Catahu) Komnas Perempuan 2014.

[3] Esmi Warassih, 1991, implementasi kebijaksanaan pemerintah melalui perundang undangan dalam perspektif sosiologis , disertasi program doctor ilmu hukum Surabaya : Program pasca sarjana Unair halaman 48-49.

[4] Niken Savitri, 2008. Ham Perempuan , Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Refika Aditama , Bandung, hlm. 28-29.

[5] Peraturan peralihan ketiga UUD yang pernah ada di Indonesia adalah pasal II UUD 1945, pasal 192 konstitusi RIS dan pasal 142 UUD 1950.

[6]  Ita, F.Nadia, Kekerasan Terhadap Perempuan Dari Perspektif  Gender, Diakses 9 Agustus 2015

[7] Ahmadi, D.H. (2009), Psikologi social, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 22

[8] Satjipto Raharjo, “Hukum Progresif Berhadapan dengan Kemapanan”, Jurnal Hukum Progresif, Vol 4 No 1 April  2008, Semarang: Program Doctor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro , hal,2

[9] Satjipto Raharjo, “Hukum Progresif Berdamai dengan Alam”, Jurnal Hukum Progresif, Vol. 3 No 2 Oktober  2007, Semarang: Program Doctor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro , hal,1

[10] FX. Adji Samekto, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Tatanan Sosial yang Berubah”, Jurnal Hukum Progresif , Vol.1 No. 2 oktober 2005, Semarang: Program Doctor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro , hal,15

[11] I nyoman Nurjaya ,” pembangunan hukum negara dalam masyarakat multicultural : perspektif hukum progresif, vol. 3  no 2 oktober 2007 , Semarang: Program doctor ilmu hukum universitas diponegoro , hal,29

[12] Lembar Fakta catatan Tahunan  (Catahu) Komnas Perempuan 2014.

Tinggalkan Balasan