Skip to main content

KESETARAAN GENDER DALAM PERSEPEKTIF HUKUM ISLAM

Oleh : Mohammad Hendra
Abstrak
Sebagai gagasan intelektual dan emosional, maka kajian ini banyak diilhami oleh pemahaman konservatif terhadap Hukum Islam yang memberi kesan supremasi laki-laki atas perempuan, sementara pemahaman reformis memberi kesan kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan. Pemahaman konservatif mengharuskan pemahaman reformis menekankan perlunya menjawab tantangan jaman dengan mengedepankan mashlahah mursalah. Pemahaman konservatif banyak ditemukan dalam kitab-kitab klasik (hasil ijtihad ulama salaf), yang pandangan dan penafsirannya lebih cocok untuk lingkungan dan jamannya. Pemahaman reformis, banyak dilakukan oleh ulama-ulama khalaf (pemikir muslim kontemporer, feminis muslim) guna menghadapi perubahan dan tuntutan anak jaman. Dari itu persoalan gender atau kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dalam Islam semakin menarik minat banyak pihak, salah satunya adalah pemahaman kesetaraan gender, keadilan gender, dan bias gender di lingkungan para pemuka agama, baik pimpinan organisasi keagaman ataupun organisasi lainnya — cenderung memberikan penafsiran yang berbeda-beda.
Dengan latar belakang masalah di atas maka masalah dapat dirumuskan dengan susunan pertanyaan berikut “Bagaimanakah eksistensi kesetaraan gender di ruang publik dalam perspektif Hukum Islam ?”
Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif , disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi atau bahan pustaka bidang hukum, yang dari sudut kekuatan mengikat dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara deduktif dan induktif. Metode deduktif digunakan untuk mendapatkan gambaran secara detail dari kerangka umum menuju paparan-paparan khusus yang kemudian ditarik pada suatu kesimpulan. Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum adalah untuk mengadakan sistematisasi pengolahan bahan-bahan hukum pustaka. Sistematisasi dimaksud untuk membuat klasifikasi terhadap bahan hukum pustaka tersebut guna mempermudah analisis dan konstruksi.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa Hukum Islam mengakui eksistensi kesetaraan gender di ruang publik; a) Bahwa hukum Islam memberi perlakuan yang sama di depan hukum kepada setiap individu manusia. Sebab kemuliaan menusia tidak ditentukan oleh faktor jenis kelamin tertentu, tetapi  ditentukan oleh faktor seberapa banyak amal kebaikannya terhadap Allah, terhadap sesamanya, dan lingkungannya, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut “taqwa”, sebab taqwa tidak bergender; b) Laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat sebutan “khoiru ummah”, yang sama sekali tidak bergender. Yaitu setiap umat Nabi Muhammad SAW, yang menegakkan hukum, yakni beramar ma’ruf, bernahi munkar dan beriman kepada Allah; c) Nilai kebajikan manusia, tidak ditentukan oleh gender tertentu, baik gender laki-laki maupun perempuan tidak berbeda di hadapan Allah. Dan siapa yang berbuat jahat (laki-laki atau perempuan) akan mendapat sanksi sesuai dengan hukuman Allah.
Kata Kunci: Kesetaraan, Gender, Hukum Islam
  1. PENDAHULUAN
1.       Latar Belakang Masalah
Sebagai gagasan intelektual dan emosional, maka kajian ini banyak diilhami oleh pemahaman konservatif terhadap Hukum Islam yang memberi kesan supremasi laki-laki atas perempuan, sementara pemahaman reformis memberi kesan kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan. Pemahaman konservatif mengharuskan pemahaman reformis menekankan perlunya menjawab tantangan jaman dengan mengedepankan mashlahah mursalah.[1] Pemahaman konservatif banyak ditemukan dalam kitab-kitab klasik (hasil ijtihad ulama salaf), yang pandangan dan penafsirannya lebih cocok untuk lingkungan dan jamannya. Pemahaman reformis, banyak dilakukan oleh ulama-ulama khalaf (pemikir muslim kontemporer, feminis muslim) guna menghadapi perubahan dan tuntutan anak jaman.
Kedatangan Islam telah mengubah dan menghilangkan perlakuan diskriminatif antara laki-laki dan perempuan yang  didasarkan atas warna kulit, adat, suku atau jenis kelamin, tetapi atas dasar ketaqwaan. Manusia dimuliakan atas dasar kebaikannya pada Allah, pada sesama maupun lingkungannya[2]. Dalam Islam, setiap individu baik laki-laki maupun perempuan berhak mamperoleh derajat keutamaan sesuai dengan aktivitas masing-masing. Keduanya mendapatkan hak dan kewajiban (serta tanggung jawab) yang seimbang serta kesempatan yang sama dalam aktualisasi diri dan dedikasi.[3]
Pandangan di atas, senada dengan pernyataan Said Aqil Husin Al-Munawar: bahwa Al Qur’an adalah kebenaran abadi, namun penafsirannya tidak bisa terhindar dari sesuatu yang relatif. Pada suatu kurun, kadar intelektualitas menjadi menonjol, sementara pada kurun lainnya kadar emosional menjadi menonjol. Itulah sebabnya persepsi tentang perempuan di kalangan umat Islam sendiri juga berubah-ubah[4]. Karena itu, memaksa satu generasi untuk mengikuti keseluruhan hasil pemikiran generasi masa lampau, menurut Quraisy Syihab, mengakibatkan kesulitan bagi mereka.  Hal ini tidak sejalan dengan ciri agama serta tidak sejalan dengan hakikat masyarakat yang selalu berubah.[5]
Dalam perjalanan awal sejarah Islam, nama-nama perempuan banyak berperan bagi perjuangan Islam, seperti Siti Khadijah, Siti Hafshah, Siti Aisyah ra, dan sebagainya. Tetapi pada masa selanjutnya keadaan itu berubah, perempuan- perempuan Islam semakin tersudut ke dalam rumah, bahkan muka mereka tidak boleh dilihat orang lain. Mereka tidak boleh mendapat pendidikan, apalagi kerja di luar rumah. Begitu keadaannya pada zaman pertengahan. Bahkan sampai zaman modern inipun, perempuan-perempuan Islam di berbagai negeri muslim belum banyak mendapatkan kesempatan pendidikan dan bekerja di luar rumah.[6]
Di Indonesia, tidak ada undang-undang secara formal, yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa semua orang sama di depan hukum. Dalam kehidupan internasional, dari sekitar 22 konvenan yang berkaitan dengan HAM, Indonesia baru meratifikasi 4 buah konvenan,[7] dua di antaranya adalah HAM perempuan yaitu perjanjian hak politik perempuan 1961 dan Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Againt Women (CEDAW) pada tanggal 1 maret 1980.[8]
Dengan latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana kesetaraan gender dalam perspektif Hukum Islam yang sudah menjadi isu global, perlu direspon.
  1. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang masalah di atas maka masalah dapat dirumuskan dengan susunan pertanyaan “Bagaimanakah eksistensi kesetaraan gender di ruang publik dalam perspektif Hukum Islam ?”
  1. Metode Penelitian
Jenis Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif , disebut juga penelitian hukum kepustakaan.[9] Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan pustaka bidang hukum, yang kekuatan mengikatnya dibedakan menjadi tiga golongan[10], yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik kajian yang digunakan adalah gabungan antara deduktif dan induktif. Metode deduktif untuk mendapatkan gambaran secara detail dari kerangka umum menuju paparan khusus yang kemudian ditarik pada suatu kesimpulan. Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum adalah untuk mengadakan sistematisasi pengolahan bahan hukum pustaka. Sistematisasi dimaksud untuk membuat klasifikasi terhadap bahan hukum pustaka tersebut guna mempermudah analisis dan konstruksi.[11]
  1. Kajian Pustakaamid
  2. Pengertian HAM
Pengertian HAM seperti yang dikemukakan oleh Jan Materson dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB, sebagaimana dikutip oleh Baharuddin Lopa,[12] ialah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
Lebih lanjut Baharuddin Lopa mengatakan, pada kalimat “mustahil dapat hidup sebagai manusia hendaklah diartikan mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab”. Dalam penambahan istilah bertanggung jawab ialah disamping manusia memiliki hak, juga memiliki tanggung jawab atas segala yang dilakukannya.[13]
Di dalam Konsiderans Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration Of Human Right), 1948, pada alinea ke-5, berbunyi:
……….. Bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menegaskan kembali dalam piagam, kepercayaan mereka kepada hak-hak asasi manusia, martabat dan nilai pribadi manusia, serta hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan, dan telah berketetapan untuk meningkatkan kemajuan sosial dan taraf hidup yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih besar.
Yang menjadi persoalan besar dewasa ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto ialah, apakah konsep dan karena itu segala upaya penegakan HAM di dalam kehidupan yang telah berskala global itu harus bersifat universalistik ataukah bersifat partikularistik, artinya adalah HAM itu harus ditegakkan kapan saja dimana saja dalam pengertiannya yang sama saja ataukah harus pula dimengerti kondisi dan situasi setempat, sehingga macam dan intensitas penegakannya boleh ditawar-tawar menurut kondisi dan situasi. Di kawasan-kawasan regional mencoba mendefinisikan ulang (redenifisi) HAM dengan mencoba menampung keragaman konsep-konsep lokal itu.
  1. Sejarah HAM
Umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di mulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum) menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggung jawab kepada hokum. Kemudian Magna Charta menjadi asal mula konsep modern HAM yang sebenarnya tidak lebih dari sekedar sebuah perjanjian antara raja dengan para baron (bangsawan) Inggris, yang dengan demikian raja dapat mengadakan perlindungan hak-hak istimewa mereka. Padahal, hanya setelah melalui waktu yang sangat lama Magna Charta, baru dapat diterjemahkan dalam konteks sebagaimana hak asasi manusia. Pada mulanya tidak ada hubungan antara Magna Charta dengan hak-hak yang patut dimiliki seseorang sebagai manusia.[14]
Setelah Magna Charta berselang dalam waktu sangat lama, baru pada tahun 1679 menghasilkan pernyataan Habeas Corpus, yaitu suatu dokumen keberadaan hukum bersejarah yang menetapkan bahwa orang yang ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim dan diberitahu atas tuduhan apa ia ditahan. Pernyataan ini menjadi dasar prinsip . hukum bahwa orang hanya dapat ditahan atas perintah hukum.[15]
  1. HAM Di Indonesia
Di Indonesia dengan keanekaragaman adat istiadatnya, dan khusus yang terkait dengan HAM, dapat dibaca pada banyak kata Mutiara/pepatah/kosa kata, antara lain : istilah  musyawarah, gotong-royong, biduk berlalu kiambang bertaut, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, dan masih banyak lagi istilah lain yang bertebaran di persada nusantara perlu digali dan dimunculkan. Dari istilah-istilah tersebut, terbukti demokrasi dan HAM memang sudah dikenal oleh nenek moyang kita, nampak ada keragaman dan benang merah persamaan budaya antar kita tentang HAM, ide HAM yang tertuang dalam berbagai istilah adat istiadat kita, telah terumuskan dengan sempurna / agung dalam sila ke-2 dari Pancasila, yaitu “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.”[16]
Dalam Undang-undang 1945 yang diprakasai oleh hampir semuanya dari golongan Islam, telah banyak memuat apa saja yang kemudian disebut dengan HAM. Demikian juga dalam mukaddimah UUD 1945 telah memuat apa yang kemudian disebut dengan HAM. Selanjutnya dimuat dalam batang tubuh UUD 1945, yaitu antara lain; Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 2, Pasal 28. Pada era reformasi ini telah diatur dalam UU No.9 tahun 1998. Kemudian pada amandemen kedua pada tahun 2000 ditambah satu bab dengan sepuluh pasal, yang secara khusus meletakkan hak asasi manusia dalam bab X A.
  1. HAM Dalam Islam
Fakta telah membuktikan risalah Islam sejak permulaannya di Kota Suci Makkah telah memasukkan hak asasi dalam ajaran-ajaran dasarnya bersamaan dengan penekanan masalah kewajiban manusia terhadap sesamanya.[17] Sebab hakikatnya hak asasi manusia mempunyai tiga unsur yang perlu direnungkan dan diperhatikan, yaitu hak (wewenang, right) karena bermasyarakat, maka aplikasi praktisnya terkait dengan unsur kedua, yakni kewajiban (beban, duty), dan unsur ketiga berupa tanggung jawab (kesadaran, responsibility).[18] Dalam prespektif Islam, HAM akan sempurna bila menjadi HAKAM atau Hak asasi dan kewajiban manusia. Dalam pandangan Islam untuk menuntut haknya manusia harus melakukan kewajiban. Jadi ada pola keseimbangan antara hak dan kewajiban.[19] Karena itu ada prinsip, hak itu selamanya dituntut tidak pernah diberikan (Al-haqqu yutlabu wala yu’tho).  Jarang sekali pihak yang kuat memberi sukarela kepada yang lemah. Pihak yang lemah tanpa berhenti menuntut haknya yang sah. Oleh karena itu selalu disebut pelanggaran HAM terjadi bila konteksnya dari yang kuat kepada yang lemah. Maka dengan sendirinya pemerintah sering menjadi pihak tertuding. Dan tidak ada kasus bahwa pemerintah haknya dilanggar rakyat.[20]
Dalam Al Qur’an – Pelanggaran HAM yang pertama adalah pembunuhan Qabil terhadap Habil. Kedua-duanya adalah anak lelaki Nabi Adam. Demikian sebagaimana dalam Qur’an Al-Maidah, Ayat 32.
Di situ jelas sekali nilai tiap-tiap individu manusia adalah universal. Kejahatan terhadap satu orang adalah sama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan secara keseluruhan. Pandangan yang demikian ini agak samar di kalangan umat Islam saat sekarang.[21] Islam telah memberikan kedudukan yang maksimal terhadap Hak Asasi Manusia. Islam menganggap hal ini bahkan lebih suci dari pada ibadah dalam pengertian khusus.[22] Rasulullah ketika melakukan thawaf berkhutbah tentang Ka’bah dan bersabda: “Betapa sucinya engkau wahai ka’bah dan betapa indahnya lingkungan dan keadaanmu, betapa besar engkau dan betapa sucinya statusmu, akan tetapi demi Allah yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, kesucian jiwa, harta benda, dan kehormatan seseorang muslim adalah lebih dari kesucianmu di hadapan Allah. (HR. Ibnu Majjah No. 3932). Berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia, Al Qur’an banyak menyebutkan dalam berbagai surat, Al-Taqwir, ayat 8-9 ( tentang bayi peremouan yang dikubur hidup-hidup), surat Al_Ma’un, ayat 1-3 (tentang anak yatim dan orang0orang miskin, dan surat Al_Balad, ayat 12 – 14 (tentang pembebasan perbudakan).
  1. HASIL DAN PEMBAHASAN
  2. Pengertian Gender
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti sexsual classification; sex : The male and the female gender.[23] Makna ini sama dengan “jenis kelamin”  yang tertuang dalam Grand Kamus Inggirs –  Indonesia.[24] Arti seperti ini kata  Nasaruddin Umar kurang tepat. Karena dengan demikian menurutnya gender disamakan dengan sex yang berarti “jenis kelamin”.[25]
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa : Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distingtion) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[26] Sedangkan Maggie Humm dalam Ensiclopedia Feminisme mengartikan gender sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan. Dengan berdasarkan pada Margaret Mead, Sex and Temperament In Three Primitive Societies (1935) kata Humm, teori ini menempatkan pandangan bahwa jenis kelamin adalah biologis dan perilaku gender adalah kontruksi social.[27]
Perbedaan seksual memang tidak dapat dihindari oleh siapapun, karena ini merupakan fenomena natural, alami. Masalahnya kemudian adalah bahwa perbedaan seksual ini ternyata mempunyai implikasi-implikasi atau akibat-akibat terhadap kehidupan manusia sehari-hari,[28] yang dihubungkan dengan jenis kelamin (sex). Misalnya, sifat yang dilekatkan pada perempuan adalah lemah lembut, pesolek, emosional, pasif. Laki-laki itu kuat, agresif, aktif, rasional, tangguh dan sebagainya.[29] Pembedaan karakteristik atau striotype tersebut akhirnya mengantarkan pembedaan sosial laki-laki dan perempuan. Contoh yang mudah diidentifikasi adalah pembakuan tugas suami-istri, suami adalah kepala keluarga, pencari nafkah dan harus mengambil peranan di wilayah publik, seperti pemimpin masyarakat. Sedangkan istri adalah ibu rumah tangga, berkewajiban mengatur, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mendidik anak dan jika mencari nafkah, maka diposisikan sebagai pencari nafkah tambahan.[30]
Sebagai suatu fenomena sosial, gender bersifat relatif, artinya akibat dari perbedaan atas dasar sex tadi tidak selalu sama antara masyarakat satu dengan yang lain. Gender pada masyarakat Jawa berbeda dengan gender pada masyarakat Bali. Tidak lazim di Jawa perempuan bekerja mengangkut batu untuk membuat jalanan. Namun di Bali hal semacam itu dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Oleh karena itu, gender sebagai suatu fenomena sosial lantas tidak lagi bersifat universal, tetapi relatif dan kontekstual.[31]
Perbedaan gender mempunyai sejarah perjalanan yang cukup panjang. Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya perbedaan gender tersebut, yaitu: dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, dikontruksikan melalui sosial dan kultural. Proses selanjutnya perbedaan gender dianggap suatu ketentuan Tuhan yang tidak dapat dirubah sehingga perbedaan tersebut dianggap kodrati.[32]
2.    Identitas Gender
Ketika Al-qur’an berbicara tentang gender menurut Mufidah, ia menggunakan beberapa kata yang dapat dipergunakan untuk menela’ah secara kritis dalam permasalahan kesetaraan laki-laki dan perempuan dan relasi keduanya.[33]
Kata Dzkara   berkonotasi pada persoalan biologis (sex) sebagai lawan kata al-untsa dalam bahasa Inggris disebut male lawan dari Female, digunakan pada jenis manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Kata dzakar digunakan untuk menyatakan laki-laki dilihat dari faktor biologis (sex). Kata  untsa berarti lemas, lembek, halus. Lafadz  untsa terulang sebanyak 30 kali dalam berbagai pecahannya yang pada umumnya menunjukkan jenis perempuan dari aspek biologis (sex) nya. Jadi  lafadz aldzkaru dan al-untsa dipergunakan untuk menunjuk laki-laki dan perempuan dari biologis (sex) nya.
Kata “rojul” mempunyai kriteria tertentu, bukan hanya mengacu pada jenis kelamin, tetapi juga kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat kejantanan (masculinity). Oleh karena itu tradisi Arab menyebut perempuan yang memiliki sifat-sifat kejantanan dengan  rijlah[34] atau mutarajjilat (menyerupai laki-laki), seperti dalam sebuah hadits dari Ibn Abbas ra. Berkata, “Rosulullah SAW, melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki”.
Mohammad Abduh, dalam tafsir Al-Manar mengatakan, bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan dilatari oleh dua faktor, yaitu fitri dan kasbi atau Zaitunah Subhan menyebutnya sebagai perbedaan mutlak dan relatif.
Perbedaan pertama dikenal dengan perbedaan kodrati. Perbedaan ini bersifat mutlak (absolut) dan mengarah terhadap perbedaan biologis. Secara kodrati laki-laki dan perempuan berbeda jenis kelaminnya beserta segenap kemampuannya.[35] Sedang menurut Abduh, secara fisik laki-laki lebih kuat dan struktur tubuhnya lebih indah dari pada struktur tubuh perempuan.[36] Perbedaan biologis laki-laki dan perempuan, bahwa perempuan memiliki rahim, payudara, ovarium (indung telur), haid, melahirkan, dan menyusui, semua ini merupakan kodrat biologis perempuan dan sekaligus sebagai anugerah Tuhan yang diberikan kepada perempuan. Sementara itu, laki-laki memiliki penis dilengkapi dengan dzakar (scortum) dan sperma untuk pembuahan.[37]
Perbedaan di atas (kodrati) merupakan ketentuan Tuhan yang bersifat alami (nature) tidak bisa berubah dari masa kemasa, berlaku bagi semua tingkatan manusia di segala zaman, tak pandang kaya dan miskin, teis atau ateis, pejabat atau rakyat, kulit putih atau hitam, manusia modern di perkotaan atau suku asli pedesaan.[38] Karena perbedaan ini merupakan kodrat Tuhan, maka tidak boleh diubah atau ditiru oleh masing-masing jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan.
  1. Kesetaraan Gender
Kata, “Kesetaraan” berasal dari kata setara yang berarti “adil”, “keadilan”, “tidak berat sebelah”, “kepatutan”, “kandungan yang sama”. Dengan demikian kata “setara” masuk dalam salah satu makna “adil”, dari kata kerja ‘adala, ya’dilu, berarti “berlaku adil”, “tidak berat dan patut”, “sama”, “menyamakan”, “berimbangan” dan seterusnya.[39]
Kesetaraan adalah inti ajaran Islam, bahwa semua manusia setara di hadapan Allah. Siapa berbuat baik dari jenis kelamin laki-laki atau perempuan akan mendapat balasan yang sama.[40] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Nisa’, ayat 124.
Al-Qur’an sudah menginformasikan bahwa tinggi rendahnya martabat seseorang di hadapan Allah Yang Maha Esa, seperti telah disinggung dimuka bukan karena jenis kelamin atau tinggi rendahnya stasus sosial, atau dari bangsa mana berasal. Pemahaman ini berdasarkan Al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat, ayat 13.
Menurut Amina Wadud, ayat Al-Qur’an di atas merekonstruksi semua dimensi eksistensi manusia. Memulai dengan penciptaan, kemudian menyatakan keberpasangan: laki-laki dan perempuan. Keduanya kemudian disatukan dalam kelompok-kelompok, besar dan kecil, yang masing-masing diterjemahkan sebagai ‘bangsa’ dan ‘suku’. Supaya kalian saling kenal-mengenal. Dan puncak dari ayat tersebut adalah taqwa. Dalam riset Amina Wadud, istilah taqwa diartikan sebagai ‘kesalehan’, yakni, sikap perilaku saleh yang menghindari apa yang dilarang sesuai dengan kesadaran karena Allah, yakni, menjalankan perilaku itu karena takzimnya kepada Allah.[41]
  1. Prinsip Persamaan di Dalam Hukum
Persamaan di depan hukum adalah bentuk penghormatan Islam kepada setiap manusia tanpa memandang suku, ras dan bahkan jenis kelamin juga tanpa melihat warna kulit maupun asalnya. Menurut pandangan hukum Islam bahwa laki-laki dan perempuan dari jenis bangsa dan warna kulit apapun  adalah sama di depan hukum. Dan kemudian kemuliaan setiap individu bergantung pada ketakwaan kepada Allah SWT. (QS. Al-Hujurat,  49 : 13).
Seperti diungkapkan Muhammad Amin As-Sankithy, firman Allah itu menunjukkan persamaan manusia dalam hukum, maka jelaslah, bahwa kemulian itu hanyalah dapat diperoleh oleh seberapa banyak ketaatannya kepada Allah—yang disebut oleh As-Sankithy, “Islam telah meninggikan derajat Salman Farisi dan kekufuran telah merendahkan kemuliaan Abu Lahab.”[42]
Menurut Amina Wadud, ayat Al-Qur’an di atas merekonstruksikan semua deminsi eksistensi manusia. Memulai dengan penciptaan, kemudian menyatakan keberpasangan: laki-laki dan perempuan. Keduanya kemudian disatukan dalam kelompok-kelompok yang besar dan kecil, yang masing-masing diterjemahkan sebagai “bangsa” dan “suku”’. Supaya kalian saling “kenal-mengenal”. Apabila kita semua sama, tanpa ada ciri yang membedakan kita, kita tidak mempunyai cara untuk saling mengenal atau dikenal.[43]
Puncak dari ayat ini dan aspek sentralnya dalam bahasan ini, lanjut Wadud, adalah : “Yang paling mulia di antara kalian dalam pandangan Allah adalah yang paling bertakwa”. Nilai yang membedakan dalam pandangan Allah adalah “takwa”. Jika saja taqwa ini dipahami dalam deminsi tindakan dan sikapnya, maka ayat ini dengan sendirinya sudah jelas. Dari perspektif inilah kemudian semua perbedaan antara perempuan dengan laki-laki, harus dianalisis.[44] Kenyataan ini telah didukung oleh pernyataan Nabi SAW, ““Sesungguhnya Allah SWT. tidak memandang bentuk fisik dan warna kulit kalian, tetapi memandang hati dan amal perbuatan kalian”. (HR. Muslim).dalam Hadits Abi Hurairah ra. (Al-Manawi, Hadits No : 1832) :
Ketidakberpihakan Nabi Muhammad SAW. Terhadap salah satu gender, praktis telah diaplikasikan pada saat di Madinah, telah meletakkan perempuan dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Nabi telah mengizinkan perempuan turut serta dalam peperangan. Hal ini dirumuskan Nabi dalam piagam Madinah: “Keikutsertaan Wanita dalam berperang dengan kami dilakukan secara bergiliran” (ayat 18).
Jadi kesetaraan gender dan demokrasi bukanlah barang baru dalam konsep ( hukum ) Islam. Konsep Musawat perlu dikembangkan interpretasinya dalam mengantisipasi persepsi pihak Barat yang cenderung memojokkan Islam.[45] Hukum  Islam tidak membelenggu kaum perempuan untuk memanfaatkan potensinya , sepanjang tidak menyalahi kodrat keperempuanannya dan norma-norma hukum Islam. Dalam sebuah hadits, dari Jabir Nabi Bersabda:
”Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi (kemaslahatan) manusia “ (HR. Al-Thabrani)
Memang sejak awal, Islam telah mencanangkan persamaan hukum dan tidak membedakan asal penciptaan ataupun golongan, yang berlaku universal. Yunani, yang demikian demokratis, juga Romawi, dengan lembaga senatnya, memang mengembangkan prinsip kesetaraan dan kebebasan bicara, tetapi hanya untuk mereka. Terhadap bangsa-bangsa lain yang mereka pikirkan adalah perang dan perbudakan.[46]
  1. Keunggulan bagi Penegak Hukum
Ketika Al Qur’an mensosialisasikan prinsip persamaan manusia di depan hukum, dan bahwa kemuliaan manusia ditentukan oleh nilai-nilai kesholehannya, yang dalam bahasa Al-Qur’an desebut: Atqaakum “kalian yang paling bertakwa”, maka ayat lain Allah mensosialisasikan predikat : khoiro ummah, “umat yang unggul”, sebagaimana yang sebutkan Al-Qur’an Surat Ali-Imron, ayat 110.
Ayat di atas menurut Rasyid Ridha menjelaskan, keunggulan umat Muhammad atas umat lainnya adalah disebabkan “memerintahkan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.[47] Dengan kata lain, ayat tersebut sebenarnya dalam rincian bahasa yang yang lebih mudah ingin mengatakan, bahwa umat yang unggul adalah siapa saja yang dapat menegakkan hukum yang ditentukan Allah dan menjauhkan dari apa-apa yang dilarang Allah. Tentu berlaku untuk seluruh umat Muhammad, baik laki-laki maupun perempuan, berkulit hitam atau berkulit putih, berbangsa Arab atau berbangsa Ajam, yang “memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”, itulah “umat yang unggul”.
Tetapi, lanjut Ridha, predikat “Khairo ummah” tidak disandangkan kepada orang-orang non muslim tidak juga orang yang hanya mendirikan shalat, membayar zakat, menjalankan puasa ramadhan, berhaji ke Bait al-Haram–walaupun semua itu merupakan Ruh Islam, “ pokok ajaran Islam”, melainkan setelah melaksanakan penegakan hukum Islam, yakni tugas “amar ma’ruf” dan “nahi munkar” dan “beriman kepada Allah”.[48]
Dalam pandangan Syu’bah Asa, pemahaman “memerintahkan yang ma’ruf” ( al-amr bil-ma’ruf) sebagai “humanis”, sementara “mencegah dari yang munkar” (am-nahyu ’anil munkar) menemukan bentuknya yang relevan dengan konteks kita sebagai ‘liberasi’ alias pembebasan. Sedangkan “beriman kepada Allah” (al-Iman billah) tak lain tugas ‘transendensi’, yang menghubungkan hidup dengan zat.[49] Kata Ar-Razi, tiga kewajiban yang dikandung dalam ayat ini: pertama, dakwah kepada kebaikan. Kedua, perintah mengerjakan yang ma’ruf. Dan ketiga, mencegah dari yang mungkar.[50]
Seruan dalam ayat di atas ditujukan untuk semua umat Muhammad: baik lelaki maupun perempuan. Semua mendapat tugas sebagai “penerima perintah” dan “pemberi perintah”. Mereka sama-sama berhak mengidentifikasi dirinya dengan cita-cita organisasi formal. Perempuan dalam Islam tidak diposisikan sebagai “penerima perintah” yang terasing dari cita-cita organisasi dan teridentifikasi dengan hubungan informal.[51]
Adapun yang terpenting sehubungan dengan ayat ini adalah tugas perempuan dan laki-laki yang dinyatakan persis sama : mengajak kepada kebajikan, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang  mungkar. “Amar ma’ruf” dan “nahi munkar”, adalah seluruh tugas dan aktivitas seorang muslim mengurusi bidang sosial, politik, ekonomi, pidana, perdata, etika dan estetika, di ruang publik dan di ruang domestik.[52] Hukum  Islam tidak hanya menunjuk kaum lelaki saja atau perempuan saja yang punya tanggung jawab, tetapi masing-masing individu akan dimintai  pertanggung jawaban. Sebagaimana Firman Allah dalam Surat Al-Zalzalah, ayat 6-8.
Ayat di atas jelas soal tanggung jawab masing-masing individu dalam menegakkan hukum untuk menata kehidupan dunia. Tetapi pemberian predikat “khairo ummah “ bagi umat yang melaksanakan tugas : “amar ma’ruf dan nahi munkar”, berkaitan dengan tugas manusia (laki-laki dan perempuan) sebagai khalifah Allah, yakni memelihara dan membimbing seluruh makhluk guna mencapai tujuan penciptaan masing-masing. Sebagaimana dalam hadits Abi Bakar,[53] Abi Sa’id berkata, saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangan (kekuasaan), jika tidak mampu, maka dengan lisan (nasehat) dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah Iman”. (HR. Muslim).
Ada dua golongan yang dikandung oleh ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi di atas. Pertama, “umat yang unggul”, yang diterjemahkan dari “khairo ummah”. Dan kedua, “umat yang lemah imannya”, sebagai terjemahan dari “ Adh’af al-iman”. Manusia yang laki-laki atau perempuan dapat memilih salah satu diantara dua predikat tersebut. Yaitu laki-laki atau perempuan yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar,  mendapat predikat khoiru ummah, dan laki-laki atau perempuan yang mendiami (membiarkan) amar ma’ruf dan nahi munkar mendapat predikat ‘adh’af al-iman. Jadi  laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai potensi untuk melakukan atau tidak melakukan tugas mulia tersebut.[54] Dan itulah yang sebenarnya tujuan amar ma’ruf dan nahi munkar, yang oleh Syu’bah Asa diterjemahkan sebagai “humanisasi” dan “liberasi”. Tujuan humanisasi : memanusiakan manusia tanpa memandang jenis kelamin tertentu, untuk menjadi manusia seutuhnya. Sedangkan tujuan leberasi (penjabaran dari nahi mungkar) adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan.[55]
  1. Keadilan dalam Hukum Islam
  2. Balasan Amal
Allah berfirman yang artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (QS. Al-Baqarah, 2 : 286).
Ayat di atas, jelas merupakan bentuk ajaran Hukum Islam, yang berusaha menghilangkan bentuk-bentuk ketidakadilan melalui marginalisasi, penempatan perempuan pada subordinasi, streotype, tindak kekerasan maupun beban kerja yang tidak proporsional dilakukan laki-laki dalam segala aktivitas yang ada.[56] Untuk merombak semua itu, perempuan tidak perlu ngotot untuk menunjukkan dirinya sama dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan, “Jami’u Nawah Al-Hayah”. Sebab itu mustahil dilakukan.[57] Tetapi pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan harus memperhatikan kodrat, harkat dan martabatnya,[58] sebab memang kodrat perempuan dan laki-laki adalah  berbeda.
Para Mufassir biasanya menggunakan Surat Ali-Imron, 3 : 195 untuk membahas tidak adanya pembedaan gender di akhirat. Al-Zamakhsyari mengatakan bahwa kalimat “orang yang beramal” dalam ayat ini diperjelas dengan ungkapan “laki-laki atau perempuan” sebab mereka mempunyai “hubungan dengan apa yang Allah janjikan”. Sedangkan Thanthawi Jauhari, kata “Ba’dhukam Min Ba’dh” adalah “Jumlah Mu’taridhah” yang menjelaskan hubungan perempuan dan laki-laki adalah hubungan kerja sama yang terus-menerus dalam organisasi kemasyarakatan dan keagamaan.[59]
Jadi seperti Ad-Dhahhak berkata, laki-laki bekerja sama dengan perempuan dalam hal taat, dan perempuan bekerja sama dengan laki-laki dalam hal taat.[60] Menurut Syu’bah Asa, ayat di atas–bicara “realistis” atau “serius”, perempuan bukan obyek, bahwa para mu’min laki-laki dan perempuan “sebagiannya pelindung yang sebagian”. Tidak harus berarti ketaklukan perempuan kepada laki-laki.
Akhirnya, pahala setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan telah tercermin dalam keagungan ajaran hukum Islam. Sebab dalam Hukum Islam, perbuatan manusia yang berhubungan dengan Allah, manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam semesta tidak satupun lepas dari pahala yang bernilai ibadah. Hal tersebut memahamkan agar manusia tidak sewenang-wenang, berlaku tidak adil, berbuat dzalim terhadap sesama dan tidak memperdulikan kepentingan umum.[61]
  1. Balasan Kejahatan
Dalam hukum Islam yang disosialisasikan melalui konstitusional utamanya : Al-Qur’an, behwa setiap tahapan alam akhirat dialami oleh individu. Bagian penting dari penciptaan manusia adalah hubungan antara akhir kehidupan individu dan tanggung jawab yang dipikul oleh setiap individu dalam kehidupan di akhirat. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-An’am, ayat 93.
Dalam kehidupan yang kekal nanti setiap diri manusia akan mempertanggungjawabkan amal perbuatannya. Sekecil apapun perbuatan baik dan jahat yang dilakukan di dunia akan diperlihatkan dan diberi balasan yang setimpal, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur-an surat 51 Adz-Dzariyat, ayat 6-8.
Tanggung jawab dari suatu perbuatan dosa yang dilakukan laki-laki tidak dapat dilimpahkan kepada perempuan sebagai istri dan begitu pula tanggung jawab dari suatu perbuatan dosa yang dilakukan perempuan tidak dapat dilimpahkan kepada seorang laki-laki sebagai suami. Sebab masing-masing manusia akan memikul beban tanggung jawab atas diri sendiri dan tidak akan menerima beban tanggung jawab dari dosa orang lain. Demikian disebutkan dalam surat Al-An’am, ayat 164.
Lain itu, peristiwa surga yang melibatkan Adam dan Hawa, yang melakukan pelanggaran (maksiat) karena memakan buah yang dilarangnya, telah menjadikan Adam dan Hawa turun kepermukaan bumi ini. Semuanya mendapat sanksi hukum dari Allah. Sangsi tidak hanya dilimpahkan kepada Hawa sebagai “perempuan” atau kepada Adam saja sebagai lelaki melainkan semuanya mendapat sanksi hukum, yaitu dikeluarkannya Adam dan Hawa dari sorga yang serba kemewahan dan kesenangan. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al Baqarah, ayat 38.
Perpindahan manusia pertama itu (Adam dan Hawa) kedunia ini bukan semata-mata karena pelanggaran yang dilakukan oleh Hawa, melainkan juga Adam telah melanggar batas yang ditentukan Allah. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menyatakan, balasan yang diterima setiap individu sesuai dengan apa yang mereka perbuat.
  1. Sanksi Pidana
Sebelum lebih jauh membahas topik ini, perlu dikemukakan lebih dahulu dua Firman Allah yang sesuai dengan topik ini, yaitu ayat yang berkenaan dengan sanksi hukum bagi pencuri dan sanksi hukum bagi pelaku zina. Demikian disebut dalam Surat Al-Maidah, ayat 38 dan surat An-Nur, ayat 24.
Hakikat hukum Islam yang tersimpul dari ayat di atas menetapkan sanksi hukum bagi masing-masing pelaku “Pencuri” dan “pezina”, baik pencuri laki-laki atau pencuri perempuan, pezina perempuan atau pezina laki-laki semua mendapat hukuman yang sama dan tidak bias gender. Ibnu Arabi dalam memahami kedua ayat tersebut mengatakan, bahwa Alif dan Lam dalam kalimat As-Sariqu Was Sariqatu, sama dengan Alif dan Lam dalam kalimat Was Zaani Waz Zaniatu, berhimpun dalam satu karakter, yaitu untuk spesifikasi ( takhsis) dan penentuan,“ta’yin” terhadap kedua jenis kelamin. Lebih lanjut Ibnu Arabi menyatakan . Dalam suatu peristiwa “pencurian” ada lima unsur: 1) pencurian; 2) orang yang mencuri (dari laki-laki atau perempuan; 3) barang yang dicuri; 4) orang yang kecurian; dan 5) tempat terjadinya pencurian. Lima unsur ini mesti ada dalam kasus pencurian secara umum. Dan seorang dapat disebut “pencuri” apabila memenuhi syarat: 1. Berakal 2. Baligh 3. Sampainya dakwah. Ibnu Arabi tidak menyebut “jenis kelamin” sebagai syarat seseorang dapat disebut sebagai “pencuri”. Sedangkan an-Nasafi mengatakan: dalam hal pencurian, laki-laki didahulukan karena banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Sedangkan dalam hal ayat tentang zina, penyebutan perempuan didahulukan, karena yang membangkitkan Syahwat banyak dilakukan perempuan[62].
Penafsiran yang dihubungkan dengan faktor biologis dan jenis kelamin tersebut sebagaimana an-Nasafi banyak berimplikasi pada pelabilan dan streotype kedua gender tersebut. Laki-laki kemudian ditempatkan dalam posisi dominan, selalu didukung oleh kemasan ideologi, dituangkan dalam hukum, dibenarkan oleh adat serta diundangkan oleh kebijakan, dan dipertahankan oleh proses sosialisasi dan dijalankan melalui berbagai  institusi yang berbeda.[63] Seperti pelabilan peran dan profesinya; “wanita karier” diartikan dengan, seorang perempuan yang bekecimpung dalam kegiatan profesional, Wanita Tuna Susila (WTS) adalah perempuan yang kurang atau tidak memiliki susila.
Masyarakat yang masih dekat dengan perasaan fitrah manusia masih memandang zina sebagai perbuatan mesum yang harus mendapat hukuman berat. Sungguhpun demikian sikap mereka dalam mengahadapi perzinaan sedikit demi sedikit luluh dan sesuai dengan alur kebudayaan yang mempengaruhi masyarakat ketika mulai membedakan antara perzinaan laki-laki dengan perempuan yang bersuami dikenakan sanksi hukum sedangkan laki-laki yang berzina dengan perempuan yang tidak bersuami dianggap sebagai kesalahan biasa yang tidak perlu mendapatkan  atau dikenakan sanksi hokum.[64]
Pengertian berzina dengan perempuan yang tidak bersuami adalah seorang laki-laki (entah suami, duda atau bujangan) yang menyetubuhi seorang perempuan yang tidak bersuami. Dalam Undang-undang Mesir kuno, Kristen dan Hindu, semua menilai hal ini sebagai kesalahan biasa yang mendapat hukuman ringan. Kaidah merekapun diikuti oleh bangsa Yunani dan Romawi. Yahudi pada akhirnya mengikutinya. Dalam kitab sucinya tidak termaktub seperti itu. Kitab suci Yahudi hanya menetapkan laki-laki si pelaku zina membayar denda. Hal ini disebutkan dalam kitabnya, yakni Kitab Keluaran Surat ke- 22 ayat 16 dan 17 :
 “Apabila seseorang membujuk seorang anak perawan yang belum bertunangan dan tidur dengan dia, maka haruslah ia mengambil menjadi istri dengan membayar mahar : jika ayah perempuan itu sungguh menolak memberikannya kepadanya maka ia harus pula membayar perak itu sepenuhnya sebanyak mahar (mas kawin) anak perawan.”[65]
Namun Hukum Islam tidak mengenal perbedaan itu dan tidak mengenal pelabilan maupun streotipi ; baik pelabilan atau streotipi laki-laki maupun pelabilan atau streotipi perempuan. Karena hal ini dalam pandangan hukum Islam dianggap memperolok-olok atau menggunjing orang lain atau komunitas dari kelompok lain misalnya, baik dilakukan secara personal maupun kolektif dalam term humanisme (selain Islam) bisa jadi dianggap bukan suatu kekerasan. Untuk itu, hingga kini belum ada perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu. Akan tetapi, Hukum Islam melihat bahwa dampak dari pergunjingan, apalagi dilakukan dengan jalan terbuka, akan mempunyai dampak negatif (negative effect), atau bahkan konflik sosial. Sebab itulah, Al-Qur’an melarang dan mendosakan pergunjingan baik dilakukan secara personal maupun kolektif. Hal itu terungkap dalam Allah berfirman surat Al-Hujarat, ayat 11.
Seorang pencuri setelah jelas mencuri, sesuai bukti atau kesaksian maka tidak diperkenankan mengundurkan hukumannya, yaitu harus dipotong tangannya pada waktu telah terbukti kesalahannya. Ini semua karena menegakkan hukum Islam. Hukum Islam  memberikan sanksi hukuman tidak karena banyaknya pelaku dari salah satu kedua jenis kelamin, tetapi apapun jenis kelaminnya yang melakukan parbuatan mencuri dalam pandangan hukum Islam harus mendapat sanksi hukum yang sama. Sebab menurut Al-Jurjawi, hukuman dalam hukum Islam yang dikenakan kepada seorang pencuri adalah sebagai peringatan dan hukuman agar tidak mengulangi perbuatan yang sama.[66]
Begitu pula dengan pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan, hukum  Islam telah menetapkan sanksi bagi keduanya dengan hukuman yang sama, yaitu dengan hukuman cambuk 100 kali tanpa terputus (QS. An-Nur:2), sedangkan bagi seorang janda atau duda adalah setengahnya (QS. An-Nisa’:25). Selain itu, hukum Islam  yang bersumberkan al-Qur’an dan Hadits, juga memberikan sanksi moral bagi pelaku zina itu, yaitu seorang pezina, laki-laki atau perempuan tidak diperkenankan mengawini seorang kecuali sesama pezinanya (QS. An-Nur:3). Demikian juga disebutkan dalam Hadits Abi Hurairah, Nabi bersabda: “Tidak boleh nikah seorang pezina kecuali dengan sesama pezinanya (HR. Abu Daud).
Demikianlah hukuman Allah Yang Maha Adil. Sedangkan para mufassir, seperti Al-Maraghi dan Moh. Abdul Mun’im Al-Jamal, dalam menjelaskan ayat di atas (tentang pezina) mengatakan, dalam menegakkan hukum Allah tidak boleh ada rasa belas kasihan, bahwa barang siapa berbuat zina ; laki-laki ataupun perempuan, sedangkan mereka merdeka, dewasa, memiliki akal yang cerdas, maka keduanya diberi hukuman jilid sebanyak seratus kali sebagai balasan atas berlaku maksiat kepada Allah.[67]
  1. Hak dan Kewajiban Gender di Ruang Publik.
Persoalan yang amat penting berkaitan dengan topik ini adalah, bahwa Islam telah memberikan kesetaran gender dalam hak dan kewajiban keduanya diruang publik. Kesetaraan dalam hukum Islam tidak berarti bahwa perempuan harus menjadi sama seperti laki-laki. Tetapi menurut Zaitunah Subhan, sama berbeda dengan identik. Persamaan mempunyai arti kesederajatan dan kesebandingan, sedangkan keidentikan berarti keduanya harus persis sama. Dengan demikian kesetaraan harus berarti; (a) memberikan hak dan kewajiban di ruang publik tidak tergantung apakah secara biologis ia laki-laki atau perempuan, (b) laki-laki dan perempuan harus sama-sama menikmati status yang sama sebagai manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan, (c) laki-laki dan perempuan harus berada dalam kondisi dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk merealisasikan potensinya sebagai hak asasinya.
Menurut hukum Islam hak manusia terbatas dengan hak orang lain, hurriyatul mar’ie mahdudun bihurriyati ghairihi, kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Ada hak maka ada kewajiban, supaya hak bisa terlaksana harus ada pihak lain yang memenuhi tuntutan hak itu. Dalam hak manusia terdapat kewajiban manusia lain untuk memenuhi hak tersebut. Dan sebaliknya dalam pelaksanaan kewajiban sekaligus terdapat hak manusia.[68] Dalam penelitiannya, A.K. Brohi mengatakan, “dalam totalitas  Islam, kewajiban manusia kepada Allah mencakup juga kewajibannya kepada setiap individu yang lain. Maka secara paradok hak-hak setiap individu itu dilindungi oleh segala kewajiban di bawah hukum Ilahi. Sebagaimana suatu negara secara bersama-sama dengan rakyat harus tunduk dengan hukum, yang berarti juga harus melindungi hak-hak individual.[69] Menurut Masyhur Efendi, dalam tanggung jawab, terdapat unsur kesadaran Commited person dalam bermasyarakat. Kurangnya, lebih-lebih tiadanya tanggung jawab, dapat dibayangkan hasilnya. Di dalamnya ada dua hal, amanah (melaksanakan tanggung jawab) dan accountibility (diperhitungkan).[70]
  1. Bidang Politik
Harus diketahui bahwa memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban yang asasi menurut perspektif hukum Islam. Bahkan igamatuddin tidak mungkin direalisasikan, kecuali dengan adanya : ”kepemimpinan”. Sedangkan seluruh anak Adam, mustahil akan mencapai kemaslahatan optimal kalau tidak ada perkumpulan yang mengikat dan memecahkan kebutuhan mereka. Perkumpulan ini pasti butuh seorang pemimpin untuk mengendalikan.[71] Demikian urgennya masalah yang satu ini, sehingga Rosulullah SAW, bersabda,  “Apabila ada tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaklah mereka menjadikan salah satu sebagai pemimpin.” HR.Ibnu Majah, dari Abi Hurairah RA.
Syarat-syarat kepemimpinan pun telah pula dibicarakan oleh ulama’-ulama’; pakar tafsir dan pakar fiqh. Misalnya Al-Qurtuby, mensyaratkan kepemimpinan dari orang laki-laki dan sehat fisiknya.[72] Dari pernyataan Al-Qurtuby ini memberi isyarat bahwa perbedaan jenis kelamin berimplikasi terhadap perbedaan peran, hak dan kewajiban. Pada umumnya ulama’ yang mensyaratkan laki-laki dan menghalangi perempuan menjadi pemimpin, mereka biasanya berpijak kepada sebuah Firman Allah  dalam Surat An-Nisa’ ayat 34.
Menurut Said Aqil Husin Al-Munawar, setidaknya ada tiga alasan larangan keterlibatan perempuan dalam bidang kepemimpinan: 1) QS. An-Nisa’ ayat 34,” arrijalu qowwamuna ’ala annisa’,” (laki-laki adalah pemimpin bagi kalangan perempuan) ; 2) Hadist yang mengatakan bahwa perempuan kurang cerdas dibandingkan dari laki-laki, begitu juga dalam  sikap keberagamannya ; 3). Hadist yang menyatakan,”lan yufliha qaumun wallau amrahum imroatan”, (tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan). Ketiga dalil ini saling kait mengkait dalam memperkuat argumentasi ketidak bolehan perempuan dalam memegang kepemimpinan.[73]
  1. Bidang Pendidikan
Sejalan dengan modal pertama yang diberikan oleh Allah kepada Adam untuk mengemban tugas kekholifahan, yakni ilmu pengetahuan, maka wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW pertama kali turun adalah Al-Alaq, terutama pada kata Iqra’ dan Qalam. Iqra’ yang diterjemahkan dengan perintah ‘membaca’ semata-mata bukan hanya ditujukan kepada pribadi junjungan kita Nabi Muhammad, tetapi juga untuk umat manusia (laki-laki dan perempuan) sampai akhir zaman. Arahan yang sangat penting ini dapat kita pahami jika kita mengetahui latar belakang, terutama di semenanjung Arabia. Hal yang mendominasi masyarakatnya adalah kebodohan dan kemelaratan serta penindasan atas sebagian besar rakyat jelata; atau dengan kata lain bahwa zaman pra Islam (zaman jahiliyah) itu ditandai dengan rendahnya kualitas hidup kebanyakan manusia.[74]
Perhatian hukum Islam terhadap soal ini sangat intens dan besar sekali. Persoalan menuntut ilmu bagi setiap umat Islam demi menghapuskan kebodohan dimuka bumi ini dihukumi fardlu ain, sesuai dengan sabda Rosulullah SAW.: “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah” (HR. Baihaqi).
Rosulullah adalah seorang revolusioner, yang telah mengangkat derajat kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki dalam “hak dan kewajiban”. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai makhluk nomor dua (the second class). Tetapi sama derajat dan eksistensinya sebagaimana laki-laki.[75] Begitu pentingnya masalah pendidikan dan pengajaran ini. Sehingga Rosulullah SAW bersabda:   “Dari Abi Hurairah ra, berkata; Berkata Rosulullah SAW. “Barang siapa ditanyai tentang ilmu kemudian ia menyembunyikannya maka ia diancam dengan ancaman api neraka”.(HR. Tirmidzi)
Hukum Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak begi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat “Long live education”.[76] Oleh karenanya, pendidikan harus dimulai sejak dini dalam keluarga, ditanamkan pola pikir saling menghargai antara anak perempuan dan anak lelaki dengan diberi persamaan tanpa pembedaan dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan kesempatan yang seimbang.[77]
  1. Bidang Pekerjaan
Manusia; laki-laki maupun perempuan yang berbeda secara biologis, punya hak sama untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak serta punya hak untuk memperoleh kebahagian dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, oleh karena itu, ia juga dituntut untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang digariskan agamanya ; seperti shalat, puasa, zakat, shadaqah dan sebagainya. Untuk hidup secara layak di dunia ini, manusia harus berjuang memenuhi kebutuhannya. Keseimbangan antara kebahagiaan dunia dan akhirat sangat penting, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Qashas, ayat 77.
Karena itu, perlu adanya keseimbangan antara menuntut hak dan melaksanakan kewajiban, baik laki-laki maupun perempuan, terutama bagi mereka yang hidup terikat sebagai suami istri. Dengan kata lain, keluarga dan karier bagi seorang perempuan (juga laki-laki) merupakan hal yang sama beratnya. Sering terlontar oleh seorang suami  bahwa istri boleh menjadi wanita karier tetapi kegiatan istri sebagai ibu rumah tangga tidak boleh terbengkalai. Oleh karenanya, hukum Islam yang disebut dalam Al-Qur’an, menetapkan bahwa hubungan laki-laki dengan perempuan (suami-istri) adalah hubungan kesetaraan dalam hak dan kewajiban, yang sama sekali tak bergender.[78]
Mahmud Syaltut mengatakan, ini adalah syari’at Allah yang Qadim : perempuan bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan tidak akan dibebankan kepada laki-laki dari kesalahannya (nasibnya). Dari sini, timbul pertanyaan, ketika seorang perempuan ingin melaksanakan tugasnya sebagai bagian dari fungsi “khalifah” di muka bumi ini, berbuat baik kepada sesama, mengentaskan kemiskinan, menafkahkan sebagian harta sebagai amanat Allah, dan dijanjikan pahala yang besar, apakah laki-laki sebagai suami dapat memenuhi keinginan perempuan sebagai istrinya. Padahal pahala yang besar telah menunggunya.
Maka tidak dapat dibenarkan ketimpangan gender yang membentuk pola hidup yang berbeda atau pekerjaan yang masih berorientasi pada perbedaan gender tertentu. Sebab tidak semua suami memenuhi keinginan perempuan, ketika ia ingin berdarma, berinfaq dan sebagainya. Semisal menyuguhkan tamu, perempuan (istri) harus seizin laki-laki (suami), sebab tanpa izinya pemberian yang dilakukan seorang istri itu tidak halal.[79]
Islam menghendaki agar penganutnya menjadi umat yang kuat bukan umat yang lemah yang akhirnya hanya menjadi peminta-minta. Dalam sebuah Hadits[80] dari Ibn Umar  berkata, saya mendengar Rosulullah bersabda, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Nabi bersabda, dan tangan di atas adalah tangan pemberi sedang tangan di bawah, tangan peminta”. (HR. Ad. Darimi).
Pernyataan Nabi tersebut dimaksudkan agar umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, tidak menjadi peminta-minta yang dalam kesehariannya hanya menggantungkan hidupnya dari pemberian orang lain.
  1. PENUTUP
  2. Kesimpulan
Hukum Islam mengakui eksistensi kesetaraan gender di ruang publik ; a) Bahwa hukum Islam memberi perlakuan yang sama di depan hukum kepada setiap individu manusia. Sebab kemuliaan menusia tidak ditentukan oleh faktor jenis kelamin, tetapi  oleh faktor amal kebaikannya terhadap Allah dan lingkungannya, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut “taqwa” ; b) Laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat sebutan “khoiru ummah”, yaitu setiap umat Nabi Muhammad SAW, yang menegakkan hukum, yakni beramar ma’ruf, bernahi munkar dan beriman kepada Allah ; c) Nilai kebajikan manusia, tidak ditentukan oleh gender tertentu, laki-laki dan perempuan tidak berbeda di hadapan Allah. Dan siapa yang berbuat jahat dari mereka akan mendapat sanksi sesuai dengan hukuman Allah.
  1. Saran-Saran
  2. Untuk Pemerintah
Hendaknya pemerintah memberikan peluang besar terhadap munculnya organisasi-organisasi perempuan, guna turut serta membangun bangsa dan negara dengan mengedepankan aspek kualitas intelektual dan sejauh mungkin menghindari kitidakadilan gender dalam segala aspek kehidupan sebagai warga bangsa dan negara.
  1. Untuk Organisasi Perempuan
Hendaknya visi gerakan organisasi perempuan disesuaikan dengan bercermin pada tiga hal : kemajuan yang telah dialami kaum perempuan, kelemahan yang masih membelenggu kaum perempuan, serta derasnya tantangan zaman pada millenium ketiga. Selain itu peningkatan kualitas SDM perempuan Indonesia dan pemberdayaan ekonomi perempuan Indonesia menjadi salah satu visi gerakan organisasi perempuan yang pertama dan utama, tentunya setelah iman dan taqwa.
  1. Untuk Perempuan dan laki-laki
 Untuk menciptakan hubungan relasi yang berkeadilan gender, hendaknya laki-laki dan perempuan saling menghormati dan tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai yang paling penting, sedangkan lainnya kurang penting. Kemudian untuk mengejar ketertinggalannya, perempuan hendaknya memupuk intelektualitas dan emosionalitas tanpa mengkerdilkan kemampuan dirinya sendiri dan menjauhkan sikap antipati terhadap laki-laki.
 
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Metodologi Study Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
Al-Jawi Al-Bantany, Muhammad Umar Nawawi, Uqud Al Lujain Fi Bayani Huquq As-Zaujain, Dar al-Ihya’ Al-Kutub al-Arabiyah, t.th
Al-Jikny As-Syankity, Mohammad Amin bin Mohammad Mochtar, Adhwa’ Al Bayan Fi Idhah al-Qur’an bil Qur’an, Alam Al- Kutub, Bairut, Juz VII, t.th
Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maroghi, tp. t.th.
Al-Munawar, Said Aqil Husein, Dimensi-Dimensi Kehidupan Dalam Perspektif Islam, PPS UNISMA, Malang, 2001
Aminah Wadud, Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001
An-Nisaburi Al-Qusyairi, Abi Husein Muslim Bin Hajjaj bin Muslim, Al Jami’ As-Shahih, Dar Al Fikr, Bairut, Libanon, t.th
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Fajar-Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002
Mahmud Saltut, Al-Islam: Aqidatun  Wa Syariatun, Dar al-Qalam, 1966.
Mufidah Ch. “Sikap Kritis Muslimah Indonesia di Era Globalisasi”, makalah disampaikan dalam Forum PSG, Malang, 12 Agustus, 2001
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim As-Syahir bit- Tafsir Al Manar, Dar Al-Ma’rifah, Bairut, Libanon, Juz V, t.th
PKSK, HAM Dan Pluralisme Agama, CV. Fatma, Jombang, 1999
Shihab Quraish, “Membumikan” Al-qur’an: Fungsi  dan Peran Wahyu dalam Kehidupan dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1994.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an, LKiS, Yogyakarta, 1999
Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an : Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2000
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia: perspektif Muhammadiyah dan NU, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999
Syekh Syaukat Hussain, Human Rights in Islam, Alih bahasa Abd. Rochim CN, Gema Insani Prees, Jakarta, 1996
Lopa, Baharuddin, Al-Qur’an dan Hak Asasi Manusia, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Fajar-Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002
Jauhari, Thanthawi, Al Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Musthafa Al-babi wa Auladih, Mesir, t.th
Chusnul Mar’iyah, “Perempuan dan Politik”, Makalah disampaikan dalam Dialog Wanita Nasional, Jakarta, 29 April 1999
[1] . Al-Munawar, Said Aqil Husein, Dimensi-Dimensi Kehidupan Dalam Perspektif Islam, PPS UNISMA, Malang, 2001, hal 44.
[2] . Hamid, Shalahuddin, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam, AMISSCO, Jakarta, 2000, hal 100
[3] . Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an, LKiS, Yogyakarta, 1999, hal 181
[4] . Ibid, hal 183
[5] . Shihab Quraish, “Membumikan” Al-qur’an: Fungsi  dan Peran Wahyu dalam Kehidupan dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1994, hal 93
[6] . Opcit 161-162
[7] . Lopa, Baharuddin, Al-Qur’an dan Hak Asasi Manusia, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996, hal 15
[8] . Chusnul Mar’iyah, “Perempuan dan Politik”, Makalah disampaikan dalam Dialog Wanita Nasional, Jakarta, 29 April 1999
[9] . Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, hal 23
[10] . Ibid: hal 33
[11] . Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 194
[12] . Lopa, hal 1
[13] . Ibid, hal 1
[14] . Syekh Syaukat Hussain, Human Rights in Islam, Alih bahasa Abd. Rochim CN, Gema Insani Prees, Jakarta, 1996, hal  12
[15] . Umaruddin Masdar, dkk, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, LKiS, Yogyakarta, 1999, hal 97
[16] . PKSK, hal 21
[17] . PKSK, hal 21
[18] . Suara Wanita, Edisi 29/06/1998, hal 13
[19] .  Hamid, 2000, hal 4
[20] . PKSK, 1997, hal 66
[21] . PKSK, 1997, hal 60
[22] . Hussain, 1996, hal 110
[23] . Rofiq el_Harkah, 2002, hal 68
[24] . Widiastutik dan Ali K.t. th., hal 123
[25] . Opcit, hal 68
[26] . Mufidah Ch. “Sikap Kritis Muslimah Indonesia di Era Globalisasi”, makalah disampaikan dalam Forum PSG, Malang, 12 Agustus, 2001
[27] . Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Fajar-Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002, hal 177-178
[28] . Heddy Shri Ahimsa Putra, “Gender dan Pemaknaannya”, Sebuah Ulasan Singkat Pusat Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial, UGM, Yogyakarta, Juli, 2000
[29] . el-Harkah, 200, hal 59
[30] . Tutik Hamidah el-Harkah, 2001, hal 60 ).
[31] . Ahimsa Putra, 2000
[32] . Mufidah Ch.
[33] . Ibid.
[34] . Ibid.
[35] . Subhan, hal 22
[36] . Ridha, hal  70
[37] . Opcit, hal  22
[38]  Ibid, hal 22
[39] . Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia: perspektif Muhammadiyah dan NU, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999, hal 28
[40] . Ibid, hal 91-92
[41] . Ibid, hal 81- 82
[42] . As-Syankithy,  hal 634 – 635
[43] . Opcit, hal 82
[44] . Wadud,  hal  83
[45] . Hamid,  hal 118
[46] . Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an : Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2000, hal 4
[47] . Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim As-Syahir bit- Tafsir Al Manar, Dar Al-Ma’rifah, Bairut, Libanon, Juz V, t.th., hal 57
[48] . Rosyid Ridha, hal 85
[49] . Syu’bah Asa, hal 283
[50].  Ibid, hal 266
[51] . Su’udah, Suara Wanita, 1998
[52] . Opcit, hal 436
[53] . An-Nisaburi Al-Qusyairi, Abi Husein Muslim Bin Hajjaj bin Muslim, Al Jami’ As-Shahih, Dar Al Fikr, Bairut, Libanon, t.th.,adits No: 4013
[54] . Al-Munawar, hal 122
[55] . Syu’bah Asa, hal 285
[56] . Mufidah CH. 2001.
[57] . As-Sankithy, hal 632
[58]. Mufidah CH. 2001
[59].Thanthawi, hal: 197
[60] . Al-Qurthuby, Abi Abdillah Muhammad, al Jami’ al Ahkam Al –Qur’an, tp.t.th. jilid III,, hal 318
[61] . Hamid,  hal 2.
[62] . An-Nasafi, Juz I., hal 282
[63] . Ahmad Jainuri, makalah, 1999
[64] . Al-Maududi, 1991, hal 38
[65] . Ibid, hal 38.
[66] . Al-Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmatut Tasyri’ Wa Faksafatuhu,Dar al-Fikr, Bairut, Libanon, 1994, hal 202 .
[67] . Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maroghi, tp. t.th., juz 1: hal 69
[68] . Ibid,  hal11-12
[69] . Syaukat Hussain, hal 54
[70] . PKSK,, hal 18
[71] . Ibnu taimiyah, 1999, hal 156.
[72] . Al-Qurtuby, hal 270
[73] . Al-Munawar, hal 152-153
[74] . Al Munawar, hal 127
[75] . Umi Sumbulah, Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadist, Makalah dalam Seminar FKP/FKG, STAIN MALANG, Mei, 2001
[76] . Abudin Nata, Metodologi Study Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 87
[77] . Subhan, hal 156
[78] . Syaltut, hal 163
[79] . Al-Jawi Al-Bantany, Muhammad Umar Nawawi, Uqud Al Lujain Fi Bayani Huquq As-Zaujain, Dar al-Ihya’ Al-Kutub al-Arabiyah, t.th., hal 8
[80] . Ibid., hal 8

Tinggalkan Balasan