Skip to main content

PENERAPAN PIDANA PENJARA DAN DENDA DALAM KASUS PEMERKOSAAN ANAK

 KHUSNUL HITAMINA, SH. MH

 ABSTRAK

Sebait pepatah “ Sudah Jatuh Tertimpa Tangga lagi” sengaja penulis tukilkan dalam mengawali penulisan Tinjauan yuridis terhadap Penerapan pidana penjara dan denda dalam kasus pemerkosaan anak.

Tindak pidana pemerkosaan merupakan suatu persoalan yang sangat serius dalam kehidupan bermasyarakrat, karena selain menjadi beban berat baik pisik maupun psikis oleh korban, tindak pidana pemerkosaan ini merupakan persoalan yang membebani Negara. Sering kali kita membaca dan mendengar baik dari media cetak maupun dari media elektonik mengenai terjadinya tindak pidana pemerkosaan. Bahkan terjadinya tindak pidana pemerkosaan ini tidak hanya di kota-kota besar saja, yang relative lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, melainkan juga terjadi di pelososk-pelosok atau pedesaan yang relative masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat setempat, terutama pada kalangan masyarakat yang ekonominya lemah.

Sebagaimana kita mafhum bahwa, sejak tanggal 31 Desember 1981 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP ini merupakan salah satu produk hukum bangsa Indonesia yang mempunyai predikat “Karya Agung” dimana KUHAP sangat memperhatikan hk-hak seorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyelidikan , penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan oleh hakim, hingga pelaksanaan putusan. Dalam proses peradilan pidana baik tersangka (offender) maupun korban kejahatan (victim of crime) menghendaki keadilan. Bagi Offender menghendaki perkaranya diperiksa secara adil dengan mengindahkan hak-haknya serta aturan main yang telah ditentukan, namun bagi Victim of Crime juga menghendaki agar offender diadili dan kalau perlu dihukum seberat-beratnya, bahkan berharap adanya ganti rugi untuk memulihkan keadaan.

Sebuah realitas yang tidak terbantahkan bahwa, kepentingan dan hak-hak offender lebih diperhatikan dan diutamakan dari pada kepentingan dan hak-hak Victim of Crime itu sendiri. Bagaimana tidak, sejak awal proses pemerikasaan hak-hak offender dilindungi, pelaku kejahatan berhak memperoleh bantuan hokum, memperoleh perlakuan yang baik, dijauhkan dari penyiksaan, diberitahukan tentang kejahatan yang disangkakan kepadanya, hak memperoleh pemidaan secara manusiawi, bahkan hak untuk meminta ganti rugi manakala terjadi kekeliruan dalam proses perkara pidana, singkatnya segala hak dan atribut yang melekat pada offender sebagai manusia dikemas dalam KUHAP. Adapun hak victim of crime dikemas sangat minim, bahkan tidak diakomudir oleh KUHAP, walaupun kita mengetahui bahwa, derita yang dialaminya sudah dirasakan ketika terjadinya kejahatan, saat melapor hingga mengikuti proses persidangan. Trauma akibat akan menerima perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungannya. Hal ini berimplikasi pada enggannya victim of crime untuk melapor kejadian yang dideritanya, karena semula laporan itu bertujuan untuk mengurangi beban masalah yang dideritanya, menjadi permasalahan baru baik berupa cemooh dari masyarakat maupun dari aparatur penegak hukum yang terkadang kurang responsip dan tidak bersahabat, belum lagi karena adanya intimidasi dari offender terhadap victim of crime.

Kata Kunci : Tinjauan Yuridis, Pidana Penjara  dan denda, Pemerkosaan

 

 

 

PENDAHULUAN

Bagian yang tidak terpisahkan dan hukum pidana adalah masalah pidana dan pemidanaan. Sifat pidana merupakan suatu penderitaan. Pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang dianggap bersalah merupakan sifat derita yang harus dijalani, meskipun demikian sanksi pidana bukan semata-mata bertujuan untuk memberikan efek derita.

Pelaksanaan pidana penjara di lembaga pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna. Warga binaan dalam sistem pemasyarakatan mempunyai hak-hak asasi untuk memperoleh pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarganya maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan sebagainya.

Hak-hak ini seharusnya diperoleh secara otomatis tanpa dengan syarat atau kriteria tertentu, walaupun seseorang dalam kondisi yang di pidana penjara. Agar hak narapidana ini dapat terselenggara dengan baik maka sistem penjara yang nota benenya adalah pembalasan terhadap pelaku tindak pidana harus diubah ke sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk. memulihkan narapidana dengan tetap berorientasi kepada kesatuan hak asasi antara individu dan masyarakat.

Pidana penjara bervariasi dan penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati. Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimum ialah 15 tahun.

Ditinjau dan segi filosofis, maka terdapat hal-hal yang saling bertentangan terhadap tujuan dan perampasan kemerdekaan (penjara), yang antara lain sebagai berikut: (1) Bahwa tujuan penjara yang pertama adalah menjamin keamanan para narapidana, dan tujuan yang kedua adalah memberikan kesempatan kepada narapidana untuk rehabilitasi. (2) Bahwa fungsi penjara tersebut seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya akan menimbulkan suatu kerugian bagi narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupan secara produktif didalam pergaulan masyarakat.

Oleh sebab itu di era reformasi ini, penjara diusahakan menjadi suatu lembaga dengan pendekatan manusiawi, namun sifat aslinya sebagai lembaga yang harus melakukan tindak pengamanan, pengendalian, narapidana tidak dapat ditinggalkan begitu saja.

Pada masa sekarang ini maksud dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan adalah bahwa dengan pidana itu dapat dilakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga setelah terpidana selesai menjalani pidananya diharapkan menjadi orang yang Iebih baik dari sebelumnya. Namun, dalam kenyataannya makin lama pidana penjara dijalani, maka kecenderungan untuk menjadi narapidana secara sempurna, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak pidana Iebih lanjut setelah dia keluar dan penjara.

Hal lain yang dapat memperburuk keadaan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek adalah panjang dan Iamanya waktu dari mulai tahap penyidikan untuk sampai kepada putusan hakim. Seringkali antara masa tahanan yang dijalani oleh terpidana dengan Iamanya pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidak terpaut lama, bahkan tidak jarang pula begitu putusan dijatuhkan terpidana sudah harus keluar dari lembaga atau tempat bersangkutan ditahan.

Dengan demikian sampai saat ini keberadaan pidana perampasan kemerdekaan tetap ada atau sulit dihindari, meskipun kerugian-kerugian yang melekat padanya. Pada masa mendatang pidana perampasan kemerdekaan tetap merupakan pendukung dan sistem peradilan pidana. Yang penting adalah seberapa jauh penggunaan pidana perampasan kemerdekaan dapat dibatasi sehingga dapat keserasian, keselarasan dan keseimbangan penggunaannya dengan pidana non kemerdekaan.

Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana tersendiri agar menjadi masyarakat yang baik. Demikianlah konsepsi baru fungsi pemidanaan yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitas dan reintegrasi sosial. Konsepsi itu di Indonesia disebut pemasyarakatan.

Pidana perampasan kemerdekaan yang dianggap menderitakan menimbulkan suatu alternatif bentuk pidana, yaitu berupa pidana denda. Pidana denda ini mengutamakan keserasian antara kewajiban yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besarnya denda yang harus dibayar oleh terpidana dengan mempertimbangkan minimum maupun maksimum pidana denda yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana. Namun kecenderungan seperti ini belum maksimal dilakukan. Disamping itu, sikap hakim terhadap penilaian terhadap ancaman denda cenderung digunakan hanya untuk tindak pidana yang ringan dan pidana penjara atau kurungan tetap merupakan yang utama. Sekalipun diadakan usaha-usaha pembaruan dan perbaikan untuk mengurangi berlakunya pidana perampasan kemerdekaan namun suatu kenyataan bahwa pidana perampasan akan melekat kerugian-kerugian yang kadangkala sulit untuk dihindari dan diatasi, bilamana ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai.

Suatu tindak pidana hanya akan diancamkan dengan pidana denda apabila dinilai tidak perlu diancam dengan pidana penjara, atau bobotnya dinilai kurang dan satu tahun. Akan tetapi bukan berarti bahwa pidana penjara atau pidana kurungan di bawah satu tahun tidak dapat dijatuhkan sama sekali. Karena menurut ketentuan-ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru, dalam hal tindak pidana yang tidak diancam dengan minimum khusus maka hakim masih memilih kebebasan untuk menjatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan jangka pendek. Demikian juga untuk denda yang tidak dibayar, harus ganti dengan pidana penjara.

Pidana denda yang apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan, lebih diutamakan dalam delik-delik terhadap harta benda. Sehingga harus dicari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besarnya pidana denda yang harus dibayar oleh terpidana. Oleh karena itu harus dipertimbangkan dengan seksama, minimum maupun rnaksimum pidana denda yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana.

Dalam era globalisai yang ditandai dengan semakin tingginya kemampuan manusia dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi maka bukan hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang antara lain berupa semakin canggih dan berkembangnya kejahatan baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas dan semakin menglobal. Peristiwa kejahatan tersebut di Indonesia korbannya bukan hanya ditujukan kepada orang dewasa tetapi anak juga rawan menjadi korban kejahatan.

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya dan perlu mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan pada dirinya,yang menimbulkan kerugian mental, fisik, dan sosial. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum yuridis (legal protection).

Kasus pemerkosaan terhadap anak merupakan bagian dan kesusilaan yang diatur dalam KUHPidana dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sebagai contoh kasus yang menjadi momok bagi masyarakat dan memasuki tahap yang memprihatinkan, karena setiap harinya kasus pemerkosaan yang melibatkan anak sebagai korbannya sering kita dapatkan dan kita saksikan diberbagai media massa, baik dimajalah, koran, maupun stasiun-stasiun televisi swasta yang kini marak menyajikan berita-berita seputar dunia kriminal.Banyak kasus pemerkosaan yang menimpa anak sebagai korbannya yang terjadi tidak hanya di Iingkungan sekolah, Iingkungan rumah (bertetangga), tempat-tempat yang memungkinkan seseorang untuk melakukan perbuatan amoral, bahkan dapat terjadi di lingkungan keIuar.

Hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam kasus pemerkosaan adalah “pembuktian”. Dalam pasal 184 (1)KUHAP menyatakan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat ,petunjuk dan keterangan terdakwa. Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukum pidana sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah (pasal 183 KUHAP). Khusus terhadap kasus pemerkosaan, dengan adanya ketentuan pasal 183 KUHAP ini maka semakin sulit saja seseorang korban untuk menuntut pelakunya. Karena sangat jarang ada saksi yang mengetahui adanya perkosaan kecuali perkosaan tersebut tertangkap basah atau pelaku itu lebih dan satu orang. Begitu juga dengan pengakuan pelaku, seorang pelaku perkosaan jarang yang mengakui perbuataannya. Kalaupun pelaku mengakui perbuatannya tetapi kalau bukti yang lain tidak ada maka pelaku belum dapat dikenakan hukuman.

Kekurangan yang lain dapat dilihat dari kasus-kasus pemerkosaaan adalah ancaman hukuman yang dikenakan kepada pelaku apabila pelaku terbukti melakukan kesalahan. KUHP hanya mengenal ancaman hukuman maksimal namun tidak mengenal ancaman hukuman minimal. Seperti kasus-kasus pemerkosaan yang sampai diperiksa ditingkat pengadilan, pernah ditemui seorang pelaku perkosaan dihukum satu tahun delapan bulan penjara. Hukuman yang dijalani oleh seorang pelaku sebenarnya tidak sebanding dengan derita yang dialami korban seumur hidup. Belum lagi adanya anggapan dari masyarakat bahwa korbanlah yang memancing pelaku untuk melakukan perkosaan tersebut. Ketiadaan ancaman hukuman minimal membuat pelaku-pelaku lain tidak merasa takut untuk melakukannya.

 

Pengertian Pidana dan Pemidanaan

Sebelum membicarakan jenis-jenis pidana yang dikenal orang dalam Hukum Pidana Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan pidana itu sendiri.

Menurut Van Hammel (F. Lamintang, 1984:47) arti Pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah:

“Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dan ketertiban hukum umum bagi seseorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum harus ditegakkan oIeh Negara”.

 

Menurut Simons (F.Lamintang,1984:48), pidana atau straf adalah:

Suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”

Dari dua rumusan mengenai pidana diatas dapat diketahui, bahwa pidana itu hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuari dan tidak mungkin dapat mempunyal tujuan ( F. Lamintang,1984:49).

Adapun unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Dwidja Priyatno (2006:7) ialah sebagai berikut:

  1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
  2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
  3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Setelah dijelaskan mengenai pengertian pidana kemudian akan dijelaskan pengertian pemidanaan sendiri. Menurut Sudarto ( F. Lamintang, 1984:49), perkataan Pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman. Yang beliau jelaskan sebagai berikut:

“Penghukuman itu berasal dan kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Penetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. OIeh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tesebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”.

Adapun dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan (Hermien Hadiati Koeswati ,1995) pada umumnya dibagi dalam 3 (tiga) kelompok teori, yaitu:

  1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)

Tokoh-tokoh terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Kegel. Mereka menganggap bahwa hukuman itu adalah suatu akibat dilakukannya suatu kejahatan. Sebab, melakukan kejahatan maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan. Manfaat hukuman bagi masyarakat bukanlah hal yang menjadi pertimbangan tetapi hukuman harus dijatuhkan.

Utrecht (1967 :159-160) mengemukakan bahwa:

“Kejahatanlah yang memuat anasir-anasir yang menuntut hukuman dan yang membenarkan hukum yang dijatuhkan (demisdaad zeif bevat de elementen die starf else en straft rechtvaardigen), jadi hukuman tidak mencapai suatu praktis (De straft becogt niet en practisch doel te verwezenlijken ). Sebagai contoh, memperbaiki penjahat jadi suatu maksud praktis tertentu itulah yang dalam pertimbangan menjatuhkan hukuman. Yang dengan sendirinya ada sebagai konsekuensi dari dilakukannya kejahatan. Hukuman itu adalah sesuatu res absuluta abefetectu futoro apakah hukuman itu bermanfaat pada akhirnya, itu bukan soal yang dipertimbangkan secara primer (pokok).

Kant menambahkan (Lamintang 1984:25) bahwa:

“Dasar pembenaran dari suatu pidana terdapat didalam apa yang disebut kategorishen imperatif menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu keharusan yang bersifat mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan”.

Dari teori tersebut diatas, Nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika. Setiap kejahatan harus disusul dengan pidana.  Sajalan dengan itu, Polak ( A. Hamzah, 1993 32) menjelaskan bahwa: “ Menurut etika Spinoza, tiada seorang pun boleh mendapat keuntungan karena kejahatan yang telah dilakukan (ne malis ex pediat esse malos)”.

Selanjutnya Polak (Hamzah, 1993 33) menambahkan bahwa pidana harus memenuhi 3 (tiga) syarat:

  • Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu sah bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif.
  • Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi.
  • Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan berat delik, ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.

Dari pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa dasar dijatuhkannya hukuman itu tidak lain kerana kejahatan itu sendiri. Adapun akibat positif maupun negatif dan pemidanaan itu bukanlah merupakan tujuan. Tujuan yang sebenarnya adalah penjara atau penderitaan.

  1. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)

Para pengajar teori relatif ini tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukurnan itu sendirilah yang menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang daripada pemidanaan itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Sedangkan pada prevensi khusus, para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnya bagi mereka yang hendak melakukan pelanggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.

Menurut Feurbach (Hamzah 1993:141) dalam bukunya (Iehrbuch des peinlichen Rechts 1801) bahwa yang dimaksud teori paksaan psikologis ancaman pidana bekerja sebagai ancaman psikologis. Ancaman itu akan menakut-nakuti untuk meIakukan delik”.

Tentang kejahatan, (Hamzah 1993 : 26-27) berpendapat bahwa:

“Pembinaan suatu kejahatan adalah hal yang wajar, akan tetapi harus dipersoakan apakah manfaat bagi masyarakat atau penjahat, kita tidak bisa melihat pada masa lalu melainkan juga pada masa depan. Oleh karena harus ada tujuan Iebih dahulu pada sekedar menjatuhkan pidana belaka.”

“Tujuan pemidanaan adalah bentuk untuk memperbaiki penjahat, sehingga dapat menjadi warga Negara yang baik, sesuai jika terpidana masih ada harapan untuk diperbaiki, terutama bagi delik tanpa korban (Victumless Crime) seperti homo seks, asas kemanusiaan yang adil dan beradab, maka sulit untuk menghilangkan sifat penjeraan (derent) pidana yang akan dijatuhkan, begitu pula sifat pembalasan (revenge) suatu pidana.”

  1. Anak

Anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Tetapi dalam kenyataanya, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih terus mengalami kekerasan. Hal ini dapat dipahami karena anak adalah manusia yang belum memiliki kematangan sosial, pribadi dan mental seperti orang yang telah dewasa. Adapun perbedaan anak dengan orang dewasa terlihat dengan adanya perbedaan umur dan tingkah laku. Berikut ini pengertian anak yang termuat dalam beberapa perundang-undangan yang terkait dengan hal tersebut, yaitu:

  1. Pengertian Anak Menurut KUHPidana:

Anak dalam Pasal 45 KUHPidana adalah anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun.

  1. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata:

Pasal 330 KUHPerdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (dua satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

  1. Pengertian Anak Menurut UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat dalam Pasal I ayat (1):

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

  1. Pengertian – Anak didalam UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1):

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

  1. Pengertian Anak didalam UU Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2):

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

  1. Menurut UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (5) sebagai berikut:

Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

  1. Pengertian Anak menurut Konvensi Tentang Hak-hak Anak (convention on the right of the child) tahun 1989 sebagai berikut:

Anak adalah setiap manusia dibawah umur 18 (delapan betas) tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.

Diantara sekian banyak pengertian anak yang telah dikemukakan, maka dalam tulisan ini pengertian anak yang digunakan adalah pengertian anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dimana dalam undang-undang ini menjamin dan melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.

  1. Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak.

Pemerkosaan dalam kamus hukum adalah memperkosa, perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia. Pemerkosaan terhadap anak biasanya dilakukan dimana pelakur memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan mengancam dan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Tetapi perlu ditekankan pemerkosaan terhadap anak bukan hanya karena ada unsur pemaksaan tetapi dapat juga karena adanya unsur suka sama suka.

Secara garis besar terdapat 5 (lima) tipe tindak pidana pemerkosaan, (Bagong Suyanto, 2003:14) yaitu:

  1. Sadictic rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas dan agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksualnya melainkan serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban.
  2. Anger rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan amarah yang tertekan. Tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan, kelemahan, frustasi, dan kekecewaan hidupnya.
  3. Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku menunjukan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama pemakhlukan seksual.
  4. Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan untuk membatasi keintiman personal, dan sampai batas-batas tettentu bersikap permissive (membolehkan) perilaku pelaku asalkan tidak sampai melakukan hubungan seksual. Namun karena pelaku beranggapan bahwa perempuan pada umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu dia merasa gagal, maka terjadilah perkosaan.
  5. Exploitation rape, yaitu perkosaan yang terjadi karena diperolehnya keuntungan atau situasi di mana perempuan bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi dan sosial.
  1. Ancaman Pidana Pelaku Pemerkosaan Anak

Kejahatan yang dimaksudkan diatas adalah dirumuskan dalam KUHP Pasal 287 yang selengkapnya sebagal berikut:

  1. Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa Ia belum waktunya untuk kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
  2. Penuntutan hanya dilakukan atas pangaduan, kecuali jika perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.

Apabila rumusan Pasal 287 ayat 1 dirinci, terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Unsur-unsur objektif:
  • Perbuatannya: bersetubuh

Artinya pemerkosaan terhadap anak terjadi karena ada persetubuhan yang terjadi baik diluar kehendak korban maupun didalam kehendak korban sendiri (suka sama senang). Atas dasar suka sama senang korban anak tersebut tidak dipidana kecuali anak tersebut mengetahui bahwa pelaku sudah brsuami, sehingga anak tersebut dapat dipidana dengan 284 KUHP (Adami Chazawi:2005,71)

  • Objek: dengan perempuan di luar kawin.

     Artinya perempuan diluar kawin

  • Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas dan belum waktunya untuk kawin.

Adapun indikator anak yang belum waktunya disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan psikis. Bentuk fisik terlihat pada wajah dan tubuhnya yang masih anak-anak, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dada atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haid. Adapun bentuk psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih senang bermain seperti pada umumnya anak belum berumur lima belas tahun.

  1. Unsur Subjektif:
  2. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun.

Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur kesalahannya, yang berupa: Kesengajaan, yakni diketahuinya umurnya belum lima belas tahun dan kealpaan, yakni sepatutnya harus diduganya umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk kawin.

Adapun ancaman pidana kejahatan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 diatur dalam Pasal 81 ayat (2) sebagai berikut:

  • Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (Jima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)
  • Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatarbelakangi berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.

  1. Perlindungan Anak

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagal kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik secara fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak.

Arif Gosita (1989:35) mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat negatif. Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang etektif dan efisien. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibakan matinya inisiatif, kreatifitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemampuan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu sebagai berikut:

  1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi

perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan.

  1. Perlindungari anak yang bersifat non yuridis, yang meliputi:

perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.

Pasal 1 angka 2 UU No.23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi. Secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamn kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wàjar, baik fisik, mental, dan sosialnya.

Arif Gosita (1989:52) berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha untuk melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.

Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial.

Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta pemerintahnya, maka koordinasi kerjasama perlindungan anak perlu diadakan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal ini, Abdul Hakim Garuda, Nusantara mengatakan (1986:22):

“Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya”.

Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah sebagai berikut:

  • Dasar Filosofis; Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.
  • Dasar Etis ; pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
  • Dasar Yuridis ; pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan Iainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

Perlindungan anak dapat dilakukan secara Iangsung maupun tidak Iangsung. Secara Iangsung maksudnya kegiatannya Iangsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini dapat berupa antara lain dengan cara melindungi anak dan berbagai ancaman dan luar dan dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah anak kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, menyediakan sarana pengembangan diri dan sebagainya. Perlindungan anak secara tidak Iangsung yaitu kegiatan tidak Iangsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan /terlibat dalam usaha perlindungan anak. Usaha perlindungan demikian misalnya dilakukan oleh orang tua atau yang terlibat dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar ataupun dari dalam diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan, mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan berbagai cara, mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya, mereka yang terlibat dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana.

  1. Tanggung jawab Perlindungan Anak

Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap warga Negara ikut bertanggungjawab terhadap dilaksanakannya perlindungan anak demi kesejahteraan anak. Kebahagiaan anak merupakan kebahagiaan bersama kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi. Tidak ada keresahan pada anak karena perlindungan anak dilaksanakan dengan baik, anak menjadi sejahtera.

Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 yaitu:

  1. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etik budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21).
  2. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22).
  3. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara umum bertangung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23).
  4. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 2).

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2002). Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2002, yaitu:

  1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
  2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
  3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Dalam hal orang tua tidak ada, dan atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat dilaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Hukum Perlindungan Anak

Dalam masyarakat, setiap orang mempunyai kepentingan sendiri, yang tidak hanya sama, tetapi juga kadang-kadang bertentangan, untuk itu diperlukan aturan hukum dalam menata kepentingan tersebut, yang menyangkut kepentingan anak diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak, yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak.

Arif Gosita (1989:35) mengatakan bahwa Hukum Perlindungan Anak adalah hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.

Bismar Siregar (1986:22) mengatakan bahwa aspek hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang belum dibebani kewajiban.

Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak dan kewajiban anak, Hukum Perlindungan Anak berupa: hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang menyangkut anak. Perlindungan anak, menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan, agar anak benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya.

Bismar Siregar (1986:22) mengatakan bahwa masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan yang Iebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya.

Aris Gosita (1989:35) memberikan beberapa rumusan tentang hukum perlindungan anak sebagai berikut:

  • Hukum Perlindungan Anak adalah suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Apabila dilihat menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, Hukum Perlindungan Anak beraspek mental, fisik, dan sosial (hukum). ini berarti, pemahaman dan penerapannya secara integratif.
  • Hukum Perlindungan Anak adalah suatu hasil interaksi antar pihak-pihak tertentu, akibat ada suatu interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Perlu diteliti, dipahami, dan dihayati yang terlibat pada eksistensi Hukum Perlindungan Anak tersebut. Selain itu juga diteliti, dipahami, dan dihayati gejala yang mempengaruhi adanya Hukum Perlindungan Anak tersebut (antara lain individu dan lembaga-lembaga sosial). Hukum Perlindungan Anak merupakan suatu permasalahan yang sulit dan rumit.
  • Hukum Perlindungan Anak merupakan suatu tindakan individu yang dipengaruhi unsur-unsur sosial tertentu atau masyarakat tertentu, seperti kepentingan(dapat menjadi motifasi), lembaga-lembaga sosial (keluarga, sekolah, pesantren, pemerintah, dan sebagainya). Memahami dan menghayati secara tepat sebab—sebab orang membuat Hukum Perlindungan Anak sebagai suatu tindakan individu (sendiri-sendiri atau bersama-sama), dipahami unsur-unsur sosial tersebut.
  • Hukum Perlindungan Anak dapat menimbulkan permasalahan hukum (yuridis) yang mempunyai akibat hukum, yang harus diselesaikan dengan berpedoman dan berdasarkan hukum.
  • Hukum Perlindungan Anak tidak dapat melindungi anak, karena hukum hanya merupakan alat atau sarana yang dipakai sebagai dasar atau pedoman orang yang melindungi anak. Jadi yang penting disini adalah para pembuat undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak. Sering diajarkan/ditafsirkan salah, bahwa hukum itu dapat melindungi orang. Pemikiran itu membuat orang salah harap pada hukum dan menganggap hukum itu selalu benar, tidak boleh dikoreksi, diperbaharui, dan sebagainya.
  • Hukum Perlindungan Anak ada dalam berbagai bidang hukum, karena kepentingan anak ada dalam berbagai bidang kehidupan kelurga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.

PIDANA PENJARA

  1. Pengertian Pidana Penjara

Pidana penjara ialah pidana pencabutan kemerdekaan. Pidana penjara dilakukan dengan menempatkan terpidana dalam sebuah penjara, dengan mewajibkan orang tersebut untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam penjara.

Menurut Roeslan Saleh (1 987:62) menyatakan bahwa:

“Pidana penjara adalah pidana utama diantara pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau sementara waktu”.

Barda Namawi Arif (1996:44) menyatakan bahwa:

“Pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain terampasnya juga kehidupan seksual yang normal dan seseorang, sehingga sering terjadi hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan terpidana”.

Berdasarkan uraian diatas pada prinsipnya bahwa pidana penjara berkaitan erat dengan pidana perampasan, kemerdekaan yang dapat memberikan cap jahat dan dapat menurunkan derajat dan harga diri manusia apabila seseorang dijatuhi pidana penjara.

  1. Efektivitas Pidana Penjara

Menurut Barda Nawawi Arief (2002: 224), efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku. Yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan komflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat); sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.

  1. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perlindungan Masyarakat.

Dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Jadi, kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.

  1. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perbaikan si Pelaku.

Dilhat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dan pidana. Jadi, ukurannya terletak pada masalah seberapa jauh pidana itu (penjara) mempunyai pengaruh terhadap si pelaku/terpidana.

Berdasarkan masalah-masalah metodologis yang dikemukakan diatas dapatlah dinyatakan, bahwa penelitian-penelitian selama ini belum dapat membuktikan secara pasti apakah nidana penjara itu efektif atau tidak. Terlebih masalah efektivitas pidana sebenarnya berkaitan dengan banyak faktor (Barda Nawawi Arief, 2002: 225, 229, 230).

PENERAPAN PIDANA PENJARA DAN DENDA PADA PUTUSAN PERKARA NO.128/PID.B/2011 /PN. KRAKSAAN

Sebagai wujud perlindungan hak-hak anak, maka pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dimana dalam undang-undang ini menjamin dan melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mandapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.

Adapun ancaman pidana dalam “kasus pemerkosaan terhadap anak diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu:

  1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).
  2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Berikut penulis akan menguraikan ringkasan dan posisi kasus dalam putusan Pengadilan Negeri Kraksaan Probolinggo Nomor: 128 / Pid.B / 2011 / PN.Kraksaan, yaitu sebagai berikut:

  1. Posisi Kasus

Kejadian pemerkosaan bermula terjadi pada hari Jum’at, tanggal 17 Desember 2010, sekitar jam 13.00 WIB, tepatnya dirumah pelaku (SGM) Dusun Tambelang Timur RT.08 RW. 02 Desa Tambelang Kecamatan Krucil Kabupaten Probolinggo, dengan korban bernama IY, kronologi kejadiannya adalah pertama tama korban IY disuruh angkat (menolong) jemuran oleh isteri SGM karena gerimis sebelum berangkat kerja, kemudian pada waktu IY mengangkat (menolong) jemuran dan masuk kerumah SGM,  semula korban IY tidak tahu kalu di dalam rumah ada pelaku SGM lalu kemudian pelaku menarik tangan korban sambil membekap mulut korban dengan tangannya, kemudian korban dimasukkan ke dalam kamar pelaku lalu tubuh korban  direbahkan diatas kasur sambil melepas celana dalam korban dan kaki korban diikat dengan tali tampar dan kedua tangan korban dipegang menggunakan tangan kiri pelaku, sementara tangan kanannya melepas sarung korban dan rok meksinya disingkap lalu pipi korban diciumi sambil meraba-raba vagina korban kemudian pelaku memasukkan penisnya kedalam vagina korban dan setelah selesai melapiaskan nafsunya korban disuruh pulang dan pelaku berkata kepada korban “jangan bilang siapa-siapa, kalau kamu bilang pada orang, kamu akan saya bunuh, kemudian saya pulang kerumah saya sendiri”. (putusan Pengadilan Negeri Kraksaan Probolinggo Nomor: 128 / Pid.B / 2011 / PN.Kraksaan,)

  1. Dakwaan Penuntut Umum

Adapun isi dakwaan penuntut umum terhadap kasus pemerkosaan anak yang dilakukan oleh terdakwa (SGM) terhadap korban (IY) yang dibacakan pada persidangan dihadapan Majelis Hakim pengadiIan Negeri Kraksaan Probolinggo yang pada pokoknya mengatakan sebagai berikut:

Bahwa ia terdakwa SGM, pada hari Jum;at  tanggal 17 Desember 2010, sekitar pukul 13.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2010 bertempat di Dusun Tambelang Timur RT. 08 RW. 02 Desa Tambelang Kecamatan Krucil Kabupaten Probolinggo atau setidak-tidaknya pada tempat lain dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Kraksaan Probolinggo dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya , yang dilakukan oleh terdakwa dengan cara pertama tama korban IY disuruh angkat (menolong) jemuran oleh isteri SGM karena gerimis sebelum berangkat kerja, kemudian pada waktu IY mengangkat (menolong) jemuran dan masuk kerumah SGM,  semula korban IY tidak tahu kalu di dalam rumah ada pelaku SGM lalu kemudian pelaku menarik tangan korban sambil membekap mulut korban dengan tangannya, kemudian korban dimasukkan ke dalam kamar pelaku lalu tubuh korban  direbahkan diatas kasur sambil melepas celana dalam korban dan kaki korban diikat dengan tali tampar dan kedua tangan korban dipegang menggunakan tangan kiri pelaku, sementara tangan kanannya melepas sarung korban dan rok meksinya disingkap lalu pipi korban diciumi sambil meraba-raba vagina korban kemudian pelaku memasukkan penisnya kedalam vagina korban dan setelah selesai melapiaskan nafsunya korban disuruh pulang dan pelaku berkata kepada korban “jangan bilang siapa-siapa, kalau kamu bilang pada orang, kamu akan saya bunuh, kemudian saya pulang kerumah saya sendiri”.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81(1) UU. No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

  1. Tuntutan Penuntut Umum

Mengenai tuntutan Penuntut Umum terhadap kasus pemerkosaan pada anak yang dilakukan oleh terdakwa (SGM) terhadap korban (IY), maka penuntut umum mengajukan kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kraksaan Probolinggo yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar memutuskan:

  1. Menyatakan terdakwa SGM Bin Durrahman terbukti bersalah melakukan tindak pidana “ Dengan sengaja melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain secara berturut-turut” sebagimana diatur dan diancam pidana diatur dan diancam dalam Pasal 81 ayat (1) UU. No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
  2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa SGM Bin Durrahman berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dikurangkan selama berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan di denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subside 6 (enam) bulan kurungan.
  3. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) potong kaos lengan pendek warna kuning 1 (satu) potong rok meksi warna hitam 1 (satu) potong celana dalam warna pink dikembalikan kepada saksi korban IY.
  4. Menyatakan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah)
  1. Kesimpulan Hakim

Mengenai kesimpulan majelis hakim dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Bahwa didapatkan seorang perempuan umur 16 tahun dengan robekan selaput darah sampai darah pada jam dua, tujuh, sembilan menyerupai selaput darah seorang perempuan yang pernah bersetubuh serta didapatkan kehamilan dalam rahim usia kehamilan 3 (tiga) bulan sampai 32 (tiga puluh dua) minggu tunggal hidup letak bujur kepala dibawah.
  2. Bahwa setelah mengetahui saksi korban hamil kemudian bapak kandung saksi korban (saksi Misrai) dengan dibantu oleh saksi Abu Nasim menyelesaikan permasalahan tersebut dan dihadapan bapak kandungnya saksi korban (saksi Misrai) dan saksi Abu Nasim tidak mengakui perbuatannya kalau telah menyetubuhi saksi korban sehingga saksi korban hamil, karena tidak penyelesaian dari terdakwa dengan alasan terdakwa mempunyai istri dan anak akhirnya ayah kandung saksi korban (saksi Misrai) melapor kejadian tersebut ke Polres Probolinggo perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 81 (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak jo pasal 64 (1) KUHP.
  1. Pertimbangan Hakim

Mengenai pertimbangan Hakim Pengadilan dapat diambil beberapa poin pokok yang diantaranya :

Menimbang, bahwa untuk menguatkan dakwaannya Penuntut Umum dipersidangan telah mengajukan bukti surat berupa :

  • Visum Et repertum dari RSUD “Waluyo JJati” Kraksaan No. 577/MR/XII/2011 tanggal 04 Januari 2012 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Dr. Yessi Rahmawati, Sp OG, dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut :
    • Pemeriksaan Genetalis
    • Hymen : terdapat robekan lama ke dasar pada jam dua, tujuh, Sembilan
    • Uterus Besar : seperti hamil tiga puluh sampai tiga puluh dua minggu
    • Pemeriksaan USG : janin dalam rahim tunggal hidup letak bujur kepala dibawah
    • Taksiran berat janin : Sembilan tujuh ratus enam puluh gram
    • Taksiran persalinan : Tanggal dua puluh tujuh bulan pebruari tahun dua ribu dua belas
    • Placenta implantasi di fundus grade dua

Menimbang bahwa untuk menguatkan dakwaannya Penuntut Umum dipersidangan juga telah mengajukan barang bukti berupa :

  • 1 (satu) potong kaos lengan pendek warna kuning
  • 1 (satu) potong rok meksi warna hitam
  • 1 (satu) potong celana dalam pink

Menimbang, bahwa karena semua unsur-unsur  dalam pasal 81 ayat (1) Undang-undang No. 23 tahun 2002 Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternative kedua;

Menimbang, bahwa selama dalam pemeriksaan dipersidangan Majelis Hakim tidak menemukan atau melihat adanya alasan pemaaf atau pembenar yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan Terdakwa, serta Terdakwa dipandang mampu bertanggung jawab atas kesalahannya;

Menimbang, bahwa karena Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas perbuatannya tersebut dan tidak ada alasan pemaaf maupun pembenar baginya, maka Terdakwa akan dijatuhi pidana dan Terdakwa haruslah dibebani untuk membayar biaya perkara;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, maka menurut Majelis Hakim pidana yang akan dijatuhkan adalah sudah tepat dan adil setimpal dengan perbuatan yang Terdakwa lakukan;

Menimbang, bahwa selama persidangan berlangsung Terdakwa dalam Tahanan, maka sesuai ketentuan Pasal 22 ayat 4 Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981, masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan serta tidak ada alasan untuk mengeluarkan Terdakwa dari Tahanan;

Menimbang,  bahwa oleh karena tidak ada alasan untuk mengeluarkan Terdakwa dari tahanan, maka berdasarkan pasal 193 ayat 2 huruf b UU RI No. 8 Tahun 1981, Terdakwa harus tetap berada dalam tahanan;

Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan putusannya maka Majelis akan melihat terlebih dahulu hal-hal yang membertakan dan hal-hal yang meringankan terhadap diri terdakwa selama dipersidangan yaitu :

HAL-HAL YANG MEMBERATKAN :

  • Akibat perbuatan Terdakwa, Saksi korban IY hamil dan mealhirkan;

HAL-HAL YANG MERINGANKAN :

  • Terdakwa berterus terang dan menyesali perbuatannya;
  • Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga;
  • Terdakwa telah memberikan bantuan biaya kepada saksi korban IY;
  1. Amar Putusan

Adapun amar putusan dalam perkara ini adalah sebagai berikut:

 

MENGADILI

 

  1. Menyatakan terdakwa SGM Bin Durrahman telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain secara berturut-turut”.
  2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
  3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
  4. Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan;
  5. Memerintahkan barang bukti berupa :

1 (satu) potong kaos lengan pendek warna kuning, 1 (satu) potong rok meksi warna hitam, 1 (satu) potong celana dalam warna pink dikembalikan kepada saksi korban IY;

  1. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah)

 

  1. Komentar

Hakim dalam memeriksa perkara pidana berusaha mencari dan membuktikan kebenaran materil berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, serta berpegang teguh pada apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan penuntut umum.

Berdasarkan posisi kasus sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa putusan dalam perkara tersebut diatas telah sesuai dengan ketentuan baik hukum pidana formil maupun hukum pidana materil dan syarat dapat dipidananya seorang terdakwa, hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam persidangan, dimana alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, termasuk di dalamnya keterangan saksi yang saling bersesuaian ditambah dengan keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang dilakukannya. OIeh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kraksaan menyatakan bahwa unsur perbuatan terdakwa telah mencocoki rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan demikian perbuatan terdakwa merupakan yang bersifat melawan hukum dan tidak terdapat alasan pembenar. Terdakwa juga adalah orang yang menurut hukum mampu bertanggung jawab dan dia melakukan perbuatan dengan sengaja serta tidak ada absan pemaaf. Sehingga dengan demikian putusan majelis hakim yang memberikan pemidanaan sudah tepat.

Majelis Hakim juga telah mempertimbangkan penjatuhan pidana secara komulatif pidana penjara dengan denda dengan mendasarkan pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Seperti yang diketahui dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa, yang harus diperhatikan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan dan tujuan pemidanaan itu, yang semuanya terdapat di dalam putusan sebagai berikut:

Hal-hal yang memberatkan:

  • Perbuatan terdakwa akan berdampak negatif bagi masa depan saksi korban.
  • pembuatan terdakwa bertentangan dengan norma agama, / kesusilaan dan adat istiadat dan budaya khususnya

Hal-hal yang meringankan:

  • Terdakwa berterus terang dan menyesali perbuatannya;
  • Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga;
  • Terdakwa telah memberikan bantuan biaya kepada saksi korban IY;

Berdasarkan hasil penelitian penulis, bahwa dalam setiap menjatuhkan putusan perkara pidana, Majelis Hakim selalu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan hukuman bagi terdakwa, dengan berdasarkan fakta putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka pihak penuntut umum berhak untuk menjalani eksekusi sesuai dengan putusan pengadilan.

Seseorang yang dengan sukarela menyerahkan diri kepada yang berwajib atau dengan sukarela memberi ganti kerugian yang layak atau memperbaiki kerusakan akibat perbuatannya, dapat dipandang sebagai mempunyai sesuatu yang patut mendapat penghargaan. Penghargaan ini berupa peringanan ancaman pidana yang dikenakan terhadap tindak pidana yang dilakukan olehnya. Sedangkan hal-hal yang memberatkan pidana tersebut dapat dijadikan bahan perbandingan dan kajian agar untuk masa yang akan datang dapat mengacu kepada hal-hal tersebut diatas.

Berdasarkan putusan perkara pidana Nomor : 128/ Pid. B / 2011 / PN.Kraksaan, menyatakan bahwa terdakwa “SGM” terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan, memaksa anak bersetubuh dengannya. Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda itu tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebeum proses ini berjalan, peranan Hakim penting sekali. Ia mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan bagi terdakwa. Jadi pidana yang jatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan dan juga mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia, merupakan pemberian makna kepada pidana dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Hakim dalam menerapkan pidana penjara, disamping mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan, juga memperhatikan keadaan-keadaan yang kiranya dapat menghindari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan ( pidana penjara ), seperti:

  1. Faktor usia si pelaku tindak pidana,
  2. Perbuatan tindak pidana apakah untuk pertama kali,
  3. Kerugian terhadap korban,
  4. Sudah adakah ganti rugi, dan sebagainya.

Efektivitas Pidana Denda yang menyertai Pidana Penjara pada Putusan Perkara Nomor: 128/ Pid.B /2011 / PN. Kraksaan.

Berdasarkan hasil penelitian penulis, bahwa dalam menjatuhkan pidana, peranan Majelis Hakim sangat penting. Setelah mengetahui tujuan pemidanaan, Majelis Hakim wajib mempertimbangkan keadaan-keadaan yang ada di sekitar si pembuat tindak pidana, apa dan bagaimana pengaruh dari perbuatan pidana yang dilakukan, pengaruh pidana yang dijatuhkan bagi si pembuat pidana di masa mendatang, pengaruh tindak pidana terhadap korban serta banyak lagi keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian dan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana.

Tindakan terhadap kejahatan dengan penyitaan terhadap milik atau pembayaran denda telah terdapat di sebagian besar masyarakat. Tetapi sangat banyak ragamnya dalam menitikberatkan soalnya dalam 60 sistem ini. Perkembangannya adalah mengikuti perkembangan tindakan masyarakat yang berupa penghukuman. Ketika seseorang dirugikan oleh yang lain maka Ia boleh menuntut penggantian rugi atas kerugiannya. Jumlahnya tergantung dan besarnya kerugian yang diderita dan posisi sosialnya dari yang dirugikan itu. Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dari pembayaran ini atau pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan pemerintah dalam pengadilan atau atas tindakan pemerintah terhadap yang membuat gangguan.

Penulis menarik kesimpulan bahwa, dalam hal ini ditinjau dan segi efektivitasnya, maka pidana denda yang menyertai pidana penjara pada putusan perkara Nomor: 128  Pid.B/ 2011 / PN. Kraksaan sudah efektif  karena terdakwa “SGM”  membayar denda yang dijatuhkan padanya, dan menjalani hukuman dipenjara selama 7 (tujuh) Tahun.

DAFTAR BACAAN

 

  1. Buku
  2. Zainal Abidin , Hukum Pidana I, Jakarta Sinai Grafika, 2007.\

Andi Hamzah, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Indonesia, Bandung Akademika Presindo, 1993.

Ahmad All, Menguak Tabir Hukum: suatu kajian filosofos dan sosiologis, Jakarta : Gunung Agung, 2002.

Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenal Kesopanan, Bandung Angkasa, 2005.

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta Akademi Pressindo, 1989.

Bagong Suyanto, Pelanggaran Hak dan Perlindungan Sosial Bagi Anak Rawan, Surabaya Airlangga University Press. 2003.

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Semarang Badan Penerbit UNDIP, 1996.

____________Bunga Rampal Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2002.

Bismar Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Jakarta : Rajawali, 1986.

Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Prakek Peradilan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984.

Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung: PT. Relika Aditomo, 2006.

Hermien Hadiati Koeswati, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Jakarta : PT. Citra Adtya, 1995.

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar

Grafika, 2008.

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Bandung:

  1. Citra Adtya Bakti, 2007.

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung : PT.

Refika Aditama, 2008.

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan

Pemidanaan, Jakarta : Sinar Graflka, 2007.

P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung CV. Armico, 1984.

Roeslan Saleh, Stesci Pidana Indonesia, Jakarta : Aksara Barn, 1987.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Penerbit Alumni, 1986.

Utrecht E, Hukum Pidana I, Jakarta: Pustaka Tinta Masyarakat, 1995

Van Bemmelen, J.M, 1-lukum pidana I, Bandung : Bina Cipta, 1987.

  1. Peraturan Perundang-undangan dan peraturan Iainnya

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

  1. Sumber Lain

Internet :

http/wwwlgoogle,pemidanaan,pidana dan tindakan .pdf, diakses tanggal 09 Juli 2010, Pukul 06:02:05 PM.

http/www/google/eksistensi-pidana-penjara.html, diakses tanggal 10 juli 2010, Pukul 05:20:37 PM.

http/www/google/sistem hukum dan kekerasan terhadap perempuan.html, diakses tanggal 10 Juli 2010, Pukul 04:21:50 PM.

 

Tinggalkan Balasan