Skip to main content

PENYALAHGUNAAN DEKTROMETORFAN (DMP) DAN AKIBAT HUKUMNYA

Oleh : Fathul Qorib

PENDAHULUAN

 Dektrometorfan, adalah merupakan salahsatu obat batuk biasa yang dijual bebas di apotik, tetapi siapa sangka ternyata obat ini menjadi sangat meresahkan pihak-pihak orang tua utamanya dibidang pendidikan. Masalahnya sekarang obat batuk ini telah banyak disalahgunakan oleh para remaja, mulai dari anak usia remaja hingga dewasa yang pada saat ini telah merambah dunia pendidikan mulai dari SLTP sampai Perguruan Tinggi. Hal dilakukan untuk mendapatkan efek teler dan dan dianggap membuat orang menjadi tenang, bisa menghilangkan stress.

Di lingkungan Pendidikan obat Dektrometorfan sudah menjadi hal telah dikenal oleh kalangan pelajar, bukan karena ia sebagai obat batuk tetapi dikenal sebagai obat yang bisa membuat orang menjadi fly atau menyebabkan euforia dan rasa tenang ketika digunakan dalam jumlah dosis yang cukup besar.

Pertama kali diperkenalkan di pasar pada tahun 1950-an di Amerika, Dekstrometorfan (DMP) merupakan obat penekan batuk (anti tusif) yang sangat populer dan selama ini dapat diperoleh secara bebas, dan banyak dijumpai pada sediaan obat batuk maupun flu. Indikasi obat ini adalah untuk batuk kering atau batuk tidak berdahak. Dosis untuk dewasa adalah 10-20 mg secara oral setiap 4 jam atau 30 mg setiap 6-8 jam dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Dosis anak-anak usia 6 – 12 tahun adalah 5-10 mg per-oral setiap 4 jam atau 15 mg setiap 6-8 jam dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Untuk usia 2-6 tahun, dosisnya 2.5-5 mg per-oral setiap 4 jam atau 7.5 mg atau setiap 6-8 jam dengan dosis maksimum 30 mg/hari. Efek anti batuknya bisa bertahan 5-6 jam setelah penggunaan per-oral. Jika digunakan sesuai aturan, obat ini relatif aman, jarang menimbulkan efek samping yang berarti. Efek samping yang banyak dijumpai adalah mengantuk.

Dekstrometorfan (DMP) adalah suatu senyawa turunan morfin, yang memiliki nama kimia/IUPAC (+)-3-methoxy-17-methyl-(9α,13α,14α)-morphinan, suatu dekstro isomer dari levomethorphan. Senyawa ini cukup kompleks karena memiliki kemampuan untuk mengikat beberapa reseptor, sehingga juga diduga memiliki banyak efek.

Mekanismenya sebagai penekan batuk (anti tusif) diduga terkait dengan kemampuannya mengikat reseptor sigma-1 yang berada di dekat pusat batuk di medulla dan terlibat dalam pengaturan refleks batuk. Fungsi fisiologis reseptor sigma-1 masih banyak yang belum diketahui, tetapi aktivasi reseptor sigma-1 salah satunya memberikan efek penekanan batuk. Reseptor sigma semula diduga merupakan subtipe dari respetor opiat, namun penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa ia merupakan reseptor non-opiat, walaupun dapat diikat juga dengan beberapa senyawa turunan opiat.

Selain merupakan agonis bagi reseptor sigma, DMP adalah antagonis reseptor NMDA (N-Methyl D-aspartat) yang berada di sistem syaraf pusat. Dengan demikian efek farmakologi DMP, terutama jika pada dosis tinggi, menyerupai PCP (phencyclidine) atau ketamin yang merupakan antagonis reseptor NMDA. Antagonisme terhadap reseptor NMDA dapat menyebabkan efek euforia, antidepresan, dan efek psikosis seperti halusinasi penglihatan maupun pendengaran. Didukung dengan mudahnya didapat dan harganya yang murah, hal inilah yang menyebabkan DMP menjadi obat yang sering disalahgunakan dalam dosis tinggi. Penyalahgunaan DMP ini sudah cukup luas dan saat ini telah mencapai tahap yang mengkuatirkan, dan inilah yang “memaksa” BPOM mengumumkan penarikannya dari pasaran. Di California (USA), penyalahgunaan DMP ini marak mulai tahun 2000-an.

Penggunaan dosis tinggi DMP bukannya tanpa masalah. Selain memberikan efek behavioral, intoksikasi atau overdosis DMP dapat menyebabkan hiper-eksitabilitas, kelelahan, berkeringat, bicara kacau, hipertensi, dan mata melotot (nystagmus). Apalagi jika digunakan bersama dengan alkohol, efeknya bisa sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Demikian pula jika dipakai bersama dengan obat lain seperti dalam komposisi obat flu, jika dipakai dalam dosis 5 – 10 kali dari yang dianjurkan akan mempotensiasi dan menambah efek toksiknya.

Dalam hal efek terhadap perilaku (behavioral effects), penyalahguna DMP menggambarkan adanya 4 plateau efek yang tergantung dosis, seperti berikut :

Plateau        Dose (mg)    Behavioral Effects

1st              100–200      Stimulasi ringan

2nd             200–400      Euforia dan halusinasi

3rd              300– 600     Gangguan persepsi visual dan hilangnya koordinasi motorik

4th              500-1500    Dissociative sedation

Dilihat dari penggunaan obat ini, jika digunakan dalam takaran dosis sesuai anjuran dokter  maka tidak berbahaya bagi orang yang mengkonsumsi, tetapi apabila penggunaannya sudah diluar anjuran dokter atau dalam takaran dosis yang tinggi, maka ini sangat membahayakan kesehatan bahkan jiwa seseorang dan hal ini sudah termasuk dalam kategori melakukan penyalahgunaan terhadap obat batuk Dekstrometorfan.

Penyalahgunaan Obat kesehatan termasuk dalam penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Psikotropika dan Obat-Obatan Terlarang dan Undang-Undang Repbulik Indonesia Nomor 00 Tahun 2015 tentang Kesehatan.

Seiring dengan alasan diatas maka perlu kita ketahui tentang pada sebenarnya obat Dokstrometorfan dan bagaimana akibat penyalahgunaan Dekstrometorfan dari segi kesehatan dan segi hukum.

PENYEBAB TERNYADINYA PENYALAHGUNAAN DEKSTROMETORFAN

Dekstrometorfan (DXM) sejatinya adalah zat aktif dalam bentuk serbuk berwarna putih dengan fungsi utama sebagai antitusif atau penekan batuk. Lantas mengapa dekstrometorfan cenderung dengan mudah disalahgunakan? Adapun mengenai mengapa dekstrometorfan banyak disalahgunakan akibat beberapa faktor berikut :

  1. Dekstrometorfan mudah didapat, obat ini dapat diperoleh secara bebas baik di apotek mauun di warung-warung. Dekstrometorfan yang disahgunakan umumnya dalam bentuk sediaan tbalet, karena dalam bentuk tablet dpat didapat di tempat tempat umumnya dalam bentuk tablet, karena alam bentuk tablet ini dapat diperoleh dosis yang lebih tinggi dibnadingkan dengan bentuk lain.
  2. Harga dekstrometorfan harganya cukup murah. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 092/Menkes/SK/II/2012 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat generik Tahun 2012, Harga Eceran tertinggi Dekstrometorfan HBr tablet 15 mg dengan kemasan kotak isi 10 x 10 tablet adalah sebesar Rp. 14.850,- (empat belas ribu delapan ratus lima puluh rupia). Dekstrometorfan HBr tablet 15 mg dengan kemasan botol isi 1000 tablet, harga eceran tertinggi adalah Rp. 53.406,- (lima puluh tiga ribu empat ratus enam rupiah). Jadi rata-rata harga eceran tertinggi untuk 1 tablet Dekstrometorfan HBr adalah Rp. 50,- (lima puluh rupiah) sampai dengan Rp. 150,- (seratus lima puluh rupiah).
  3. Persepsi masyarakat bahwa obat itu aman, karena Dekstrometorfan dapat dibeli secara bebas sebagai obat batuk biasa, sehingga bnayak orang beranggapan bahwa penyalahgunaan Dekstrometorfan relatif lebin aman dibandingkan dengan obat golongan narkotika atau psikotropika yang regulasinya lebih ketat.

Anggapan masyarakat bahwa Dekstrometorfan aman karena saat ini di Indonesia statusnya sebagai Obat Bebas, perlu dipikirkan kembali, karena legal status Dekstrometorfan sebenarnya tidak selalu demikian. Apabila kita pelajari sejarahnya, status penggolongan Dekstrometorfan pada Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kefarmasian Nomor 2669/Dir.Jend/SK/68 Tahun 1968, Dekstrometorfan HBr digolongkan sebagai obat keras. Kemudian pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 9548/A/SK/71 Tahun 1971 disebutkan bahwa sediaan-sediaan yang mengandung Dekstrometorfan HBr tidak lebih dari 16 mg tiap takaran digolongkan sebagai Obat Bebas Terbatas. Lalu pada Keputusan Menerti Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2500/Menkes/SK/XII/2011 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2011 menyebutkan bahwa Dekstrometorfan tablet 15 mg dan sirup 19 mg/5 ml merupakan obat termasuk dalam DOEN 2011. Maka bisa disimpulkan bahwa walaupun Dekstrometorfan banyak dijual di berbagai tempat, tetapi dosis penggunaannya memang telah dibatasi dan tidak tepat apabila dipergunakan melebihi dosis yang dianjurkan, dan mengingat statusnya pernah sebagai obat keras, maka tetap perlu berhati-hati dan tidak dengan mudah menganggapnya aman.

Disamping faktor pemicu mengapa dekstrometorfan disalahgunakan tersebut di atas, para penyalah guna biasanya mengonsumsi dekstrometorfan untuk mendapatkan efek yang mirip dengan penggunaan ketamin. Padahal ketamin merupakan obat yang digunakan sebagai anastetik umum (pembiusan), sehingga efek samping yang ditimbulkan meliputi kebingungan, keadaan seperti mimpi, rasa kehilangan identitas pribadi, gangguan bicara dan pergerakan, disorientasi, mengantuk bahkan berlanjut hingga pingsan

Sementara itu di negara lain legal status Dekstrometorfan juga berfariasi, ada yang menggolongkannya sebagai produk Over The Counter (OTC) atau obat bebas, seperti Kanada, ada juga yang memasukkan sebagai obat hanya diperolehnya dengan menggunakan resep dokter (Presciption Only Medicines) atau obat keras, ada juga yang memasukkan sebagai obat yang Phramacy Medicines (hanya dapat dibeli di apotik dengan penjelasan/informasi dari apoteker) atau Obat Bebas Terbatas. Di Singapura misalnya, Dekstrometorfan hanya bida didapat dengan resep dokter.

Selain dari tersebut diatas, secara umum setidaknya ada tiga faktor menyebab terjadinya penyalahgunaan narkoba termasuk menyalahgunaan Dekstrometorfan yaitu : faktor diri, faktor lingkungan, dan faktor kesediaan narkoba itu sendiri.

  1. Faktor Diri :
  2. Keinginan untuk mencoba, tanpa sadar atau tanpa berfikir panjang tentang akibat dikemudian hari.
  3. Keinginan ntuk mencoba-coba karena penasaran
  4. Keinginan untuk bersennag-senang
  5. Keinginan untuk dapat diterima dalam satu komunitas atau lingkungan tertentu
  6. Workaholic agar terus beraktivitas maka menggunakan stimulant (perangsang)
  7. Lari dari maslaah, kebosanan, atau kegetiran hidup
  8. Mengalami kelelahan dan menurunnya semangat belajar
  9. Menderita kecemasan dan kegelisahan
  10. Kecanduan merokok dan minuman keras. Dua hal ini yang merupakan gerbang ke arah penyalahgunaan narkoba
  11. Karena ingin menghibur diri dan menikmati hidup sepuas-puasnya
  12. Upaya menurunkan berat badan, obesitas dan penghilang rasa lapar yang berlebihan
  13. Merasa tidak dapat perhatian, tidak diterima atau tidak disayangi dalam lingkungan keluarga atau lingkungan pergaulan
  14. Ketidakmampuan menyesaikan diri dengan lingkungan
  15. Ketidaktahuan tentang dampak dan bahaya penyalahgunaan narkoba
  16. Pemahaman yang salah bahwa mencoba narkoba sekali-kali tidka akan mengakibatkan masalah
  17. Tidak mampu menghadapi tekanan dari lingkungan atau kelompok pergaulan untuk menggunakan narkoba
  18. Tidak dapat atau tidak mampu berkata tidak pada narkoba
  19. Faktor Lingkungan :
  20. Keluarga bermaslaah atau broken home
  21. Ayah, Ibu, atau keduanya atau saudaa menjadi pengguna atau penyalahgunaan atau bahkan pengedar gelap narkoba
  22. Lingkungan pergaulan atau komunitas yang salahsatu atau beberapa bahkan semua anggotanya menjadi penyalahgunaan atau pengedar gelap narkoba
  23. Sering berkunjung ke tempat hiburan (café, diskotik, karaoke, dll)
  24. Mempunyai banyak waktu luang, putus sekolah atau menganggur
  25. Lingkungan keluarga yang kurang atau tidak harmonis
  26. Lingkungan keluarga tidak ada kasih sayang, komunikasi, keterbukaan, perhatian, dan saling menghargai diantara anggotanya
  27. Orang tua yang otoriter
  28. Orang tua/keluarga yang permisif, tidak acuh, serba boleh, kurang/tanpa penagwasan
  29. Orang tua/ keluarga yang super sibuk mencari uang di luar rumah
  30. Lingkungan sosial yang penuh persaingan dan ketidakpastian
  31. Kehidupan perkotaan yang tidak saling kenal, apatis, hilangnya pengawasan sosial dan masyarakat, kumuh, lalu lintas macet, pelayanan publik yang buruk, dan tingginya tingkat kriminalitas.
  32. Kemiskinan, penagngguran, putus sekolah, dan keterlantaran.
  33. Faktor Ketersediaan Narkoba itu sendiri
  34. Narkoba semakin mudah didapat dan dibeli
  35. Harga narkoba semakin murah dan dijangkau oleh daya beli masyarakat
  36. Narkoba smakin beragam dalam jenis, cara pemakaian, dan bentuk kemasannya
  37. Modus Operandi tindak pidana narkoba makin sulit diungkap aparat hukum
  38. Masih banyaknya laboratorium gelap narkoba yang belum terungkap
  39. Sulit terungkapnya kejahatan informasi dan teknologi dan pencucianuang yang bisa membantu bisnis perdagangan gelap narkoba
  40. Semakin mudhanya akss internet yang mmberikan informasi pembuatan narkoba
  41. Bisnis narkoba menjanjikan keuntungan ynag besar
  42. Perdagangan narkoba dikendalikan oleh sindikat yang kuat dan profesional
  43. Serta bahan dasar narkoba (prekursor) beredar bebas di Indonesia.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pada pasal 6 disebutkan bahwa pada ayat (1) Narkotika digolongkan dalam tiga kelompok bagian. Yaitu : Nakotika Golongan I; Narkotika Golongan II, dan Narkotika golongan III. Sementara pada ayat (2) dikatakan bahwa penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kalinya ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lmapiran I dan merupakan bagian yang tak terpishakan dai Undang-Undang. Sementara itu ketentuan mengenai pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada pasal 6 ayat (1) huruf a bahwa dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Pada huruf b dijelaskan bahwa Narkotika Golongan II adalah narkotika digunakan untuk pengobatan tetapi sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Kemudian pada huruf c dijelaskan bahwa Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Dari penjelasan di atas sudah bisa dipastikan obat Dekstrometorfan adalah obat yang masuk dalam kategori Narkotika Golongan III yaitu obat atau zat yang banyak digunakan dalam terapi karena memang fungsinya sebagai obat batuk yang banyak dijual di apotik-apotik yang apabila digunakan diluar anjuran dokter dan dipergunakan terus menerus akan berakibat ketergantungan

AKIBAT DARI SEGI KESEHATAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN DEKSTROMETORFAN

Penyalahgunaan Dekstrometorfan sama dengan penyalahgunaan Narkoba pada umumnya. Penyalahgunaan Narkoba adalah pemakaian obatan-obatan atau zat-zat berbahaya dengan tujuan bukan untuk pengobatan dan penelitian serta digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang benar.

Dalam kondisi yang cukup wajar/sesuai dosis yang dianjurkan dalam dunia kedokteran saja maka menggunaan norkoba secara terue menerus akan mengakibatkan ketergantungan, depedensi, adiksi dan kecanduan.

Penyalahgunaan narkoba juga berpengaruh pada tubuh dan mental-emosional para pemakainya. Jika semakin sering dikonsumsi, apalagi dalam jumlah yang banyak maka akan merusak kesehatan tubuh, kejiwaan dan fungsi sosial didalam masyarakat. Pengaruh narkoba pada remaja bahkan dapat berakibat lebih fatal, karena menghambat perkembangan kepribadian mereka. Narkoba dapat merusak potensi diri, sebab dianggap sebagai cara yang wajar bagi seseorang dengan mengahdapi dan menyelesaikan permasalahan hidup sehari-hari.

Penyalahgunaan narkoba merupakan suatu pola penggunaan yang besifat patologik dan harus menjadi perhatian segenap pihak. Meskipun sudah terdapat banyak informasi yang yang menyajikan akibat buruk yang hasilkan oleh menyalahgunaan dalam mengonsumsi narkoba, tetapi hal ini belum memberi angka yang signifikan dalam mengurangi tingkat penyalahgunaan narkoba.

Begitupun pada obat dekstrometorfan, Dosis lazim dektrometorfan hidrobromida untuk dewasa dan anak diatas 12 tahun adalah 10 mg – 20 mg tiap 4 jam atau setiap 30 mg tiap 6-8 jam, dan tidak lebih dari 120 mg dalam satu hari. Pada penggunaan dengan dosis lazim efek samping yang pernah muncul seperti mengantuk, pusing, nause, gangguan pencernaan,kesulitan dalam berkonsentrasi dan rasa kering pada mulut dan tenggorokan.

Pada kasus penyalahgunaan, dosis yang digunakan biasanya jauh lebih besar daripada dosis lazim. Pada dosis 5-10 kali lebih besar dari dosis yang lazim, efek samping yang timbul menyerupai efek samping yang diamati pada penggunaan ketamin atau PCP, dan eek ini meliputi kebingungan, keadaan seperti mimpi, rasa kehilangan identitas pribadi, gangguan bicara dan pergerakan, disorientasi, keadaan pingsan, mengantuk (Schwartz, 2005;Siu et al.,2007).

Toksisitas bromida akut dapat terjadi pada kasus penyalahgunaan dekstrometorfan HBr meskipun sangat jarang dan sedikit disebutkan dalam literatur. Biasanya toksisitas bromida terjadi ketika kadar bromida pada serum lebih besar daripada 50-100mg/dl. Toksisitas akut dapat dihubungkan dengan adanya depresi sistem saraf pusat, hipotensi, dan takikardia. Konsumsi kronis dapat mengakibatkan sindrom “bromism”, yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku, iritabilitas, dan letargi. Tidak ada antidot khusus untuk menangani toksisitas bromida.

Pil dekstrometorfan merupakan obat yang secara kimiawi mirip dengan kodein dan bekerja di otak untuk menekan batuk non opiat sintetik yang bekerja secara sentral dengan jalan meningkatkan ambang rangsang reflek batuk . “Pil ini secara kimiawi mirip dengan kodein dan morfin namun DMP lebih berbahaya dibandingkan keduanya,” ungkapnya.

Menurutnya kodein dan morfin atau narkotika golongan satu masih dapat disembuhkan dengan cara rehabilitasi sedangkan DMP efeknya permanen.

Penyalahgunaan obat ini menyebabkan kematian dan juga reaksi efek simpang lainnya, seperti mual, halusinasi, kerusakan otak, seizure, kehilangan kesadaran, dan aritma jantung.

Besarnya dosis yang digunakan juga berpengaruh pada kesehatan, mengonsumsi DMP dengan dosis 100-200 mg dapat menimbulkan. Efek ringan, 200-400 mg timbul efek euphoria dan halusinasi.

Dan dosis 300-600 mg memberikan efek gangguan persepsi visual, hilangnya koordinasi motorik gerak tubuh. Untuk dosis 500-1500mg memberikan efek disosiatif sedatif.

Untuk Dekstrometorfan apabila kita cermati dan dipahami secara sekasama, dekstrometorfan masuk dalam kategori narkotika golongan III yang tertuang dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni di urutan kedua dalam gugus narkotika golongan III dengan nama dekstropropoksifena. Oleh karena itu mengapa Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor HK. 04. 1. 35. 07. 13. 3855 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor HK. 04. 1. 35. 06. 13. 3534 Tahun 2013 tentang pembatalan izin edar obat yang mengandung dekstrometorfan sediaan tunggal. Keputusan tersebut mulai efektif berlaku sejak tanggal ditetapkan yakni terhitung 24 Juli 2013. Intisari dari Keputusan Kepala BPOM tersebut adalah perintah untuk menghentikan produksi dan distribusi; menarik dari peredaran; dan memusnahkan baik itu berupa bahan baku, bahan pengemas, produk antara, produk rumahan maupun produk jadi obat yang mengandung dekstrometorfan sediaan tunggal selambat-lambatnya pada tanggal 30 Juni 2014.

Akibat Dari Segi Hukum Penyalahgunaan Dekstrometorfan (DMP)

Setelah kita mengetahui bahwa obat Dekstrometorfan termasuk salahsatu kategori Narkoba yang menurut Lampiran Unang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni di urutan kedua dalam gugus narkotika golongan III dengan nama dekstropropoksifena, Maka dari itu sudah barang tentu penyalahgunaan Dektrometorfan juga sama saja telah melakukan penyalahgunaan Nakotika Golongan III.

Berbicara tentang Narkotika Golongan III, maka dibawah ini dasar hukum Akibat hukum penyalahgunaan Dekstrometorfan (DMP) yang masuk dalam kategori gugus Narkotika Golongan III yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan diktum pada pasal 122, pasal 123, pasal 124, pasal 125, padal 126, dan pasal 127, berbunyi sebagai berikut:

 “ Pasal 122

  • Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah)
  • Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 123

  • Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
  • Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 13 (sepertiga).

Pasal 124

  • Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk diual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau meneyrahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
  • Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas0 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)

Pasal 125

  • Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah)
  • Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 126

  • Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunkan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang, dipidanadengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
  • Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda makimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 127

  • Setiap Penyalahguna :
  1. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
  2. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
  3. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
  • Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54, pasal 55, dan pasal 103.
  • Dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini sudah sangat jelas aturan pidana bagi pengguna atau penyalahguna atau penyalahgunaan narkoba Golongan III dipidana baik dipidana penjara maupun dipidana denda. Hal ini dilakukan agar menimbulkan efek jera bagi para pengguna, mengedar dan pembuatnya.

DAFTAR REFERENSI

BNN-RI, Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, Tahun 2009

BNN-RI, Ancaman Narkotika Golongan III, 26 Februari Tahun 2015

Pusat Informasi Obat dan Makanan, Mengenal Penyalahgunaan Dekstrometorfan, InfoPOM-Vol 13 No. 6 November –Desember 2012

WHO Expert Committee on Drug Dependence, Dextromethorphan Pre-Review Report, Juni 2012

Sk. Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 092/MENKES/SK/II/2012 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik Tahun 2012

Frank Romanelli and Kelly M. Smith, Review Article: Dextromethorphan abuse; Clinical effects an Management

Edward W. Boyer, M.D.,Ph.D., and Michael Shannon, MD., M.P.H. Review Article:current concepts The Syndrome, AHFS 2010,

http://Jauhinarkoba.com/pemicu-terjadinya-penyalahgunaa-narkoba/

http://www.bnn.go.id/read/berita/12649/ancaman-narkotika-golongan-iii

http://zulliesikawati.wordpress.com/2014/05/30/mengenal-dekstrometorfan-obat-batuk-yang-sering-disalahgunakan/

http://www.who.int/medicines/areas/quality_safety/5.1Dextromethorphan_pre-review.pdf

http://physiology.elte.hu/gyakorlat/cikkek/The%20pharmacology%20cough.pdf

http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/article/PMC1574192/

 

Tinggalkan Balasan