Skip to main content

SANKSI PELAKU PEDOPHILIA DALAM PERSPEKTIF KUHP DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2016

Oleh. Muhammad Zainal

 Pendahuluan

Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan kasus pemerkosaan dan pembunuhan dimana korban serta pelakunya adalah anak dibawah umur, hampir seluruh media masa baik elektronik maupun cetak dan bahkan setiap hari kita melihat tayangan pemberitaan tersebut, bagi kita sangat miris melihat kejadian yang amat tragis terjadi di negeri kita ini, yang oleh dunia luar kita dikenal sebagai orang yang berbudaya tinggi serta agamis, namun nyatanya hal ini berbalik 180 derajat dari kenytaan yang ada.

Telah terjadi pergeseran nilai dan degradasi moral pada generasi muda kita yang hampir setiap sudut daerah kenakalan remaja yang melampaui batas kemanusiaan selalu hadir mewarnai nuansa kehidupan bangasa Indonesia yang nota bene adalah bangsa yang beradab.

Persoalan ini muncul karena beberapa faktor, diantaranya factor ekonomi, pendidikan, lingkungan, pengaruh budaya luar dan bahkan maraknya perderan minuman keras dan obat-obatan terlarang merupakan salah satu pemicu  terjadinya perbuatan oleh remaja diluar batas kemanusiaan.

Pergaulan bebas dan terjadinya seks bebas dikalangan remaja menunjukkan betapa bangsa kita ini sudah mulai terjadi dekadensi moral, krisis akhlak, agama sudah bukan lagi sebagai panutan, tuntunan hanya menjadi tontonan.

Dari fenomena tersebut telah banyak menimbulkan bencana serta tragedy yang memilukan, bahkan kita selaku orang tua diselimuti rasa ketakutan yang mendalam tat kala kasus-kasus yang menimpa pada putra-putri kita yang terjadi tidak hanya diluar rumah bahkan hal ini terjadi di tempat mereka mengenyam pendidikan, seperti kasus guru yang melakukan pelecehan seks sual terhadap anak didiknya seperti yang terjadi di JIS, pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah kandung, paman, ayah tiri, dan bahkan sampai pada pembunuhan.

Kejadian-kejadian tersebut merupakan bagian dari sebuah tragedy yang tidak bisa kita pungkiri suatu saat pelakunya ada ditengah-tengah kita. Lalu apa dan bagaimana kita bisa mencegah serta melakukan tindakan preventif agar peristiwa-peristiwa yang telah terjadi menimpa saudara-saudara kita tidak terjadi ditengah-tengah keluarga kita, maka setidaknya kita harus tahu apa penyebab utama pelaku melakukan hal tersbut serta factor-faktor apa saja yang mempengaruhi mereka melakukan tindakan tersebut jika ditinjau dari perspsktif Kriminologi dan sekalugus akan diuraikan bagaimana sanksi para pelaku menurut UU perlindungan anak. oleh karenanya merujuk pada hal tersbut penulis ingin memaparkan beberapa kajian teoritis terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur menurut perspektif Ilmu Kriminologi dan sanksi hokum terhadap pelaku menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

  1. Tujuan

Dari beberapa kasus yang muncul akhir-akhir ini penulis merasa terpanggil untuk memberikan informasi kepada masyarakat bagaimana kasus itu terjadi serta apa dampak yang ditimbulkan oleh pelaku maupun korban dan keluarga korban dengan harapan agar kita lebih waspada dan berhati-hati terhadap orang-orang yang tidak kenal bahkan orang-orang disekitar kita serta berfikir seribu kali untuk melakukan tindakan tersebut.

  1. Rumuasan Masalah
  2. Bagaimana Pelaku Pelecehan Seksual terhadap Anak Di Bawah Umur dalam Perspektif KUHP dan Peraturan Pemerintah No. 01 Tahun 2016
  3. Bagaimana sanksi para pelaku Pelecehan Seksual di bawah umur menurut UU Perlindungan Anak.

 

  1. Pembahasan
  2. Pengertian Pedophilia

Adalah suatu kelainan seksual (dan kejiwaan) pada seseorang yang punya ketertarikan pada anak di bawah umur (children). Atau penyimpangan seksual di mana anak-anak adalah objek seksual disukai.

Pedofilia adalah paraphilia yang melibatkan minat abnormal pada anak. Paraphilia adalah gangguan yang ditandai dengan berulang intens dorongan seksual dan syur fantasi umumnya melibatkan : objek bukan manusia, penderitaan atau penghinaan diri sendiri atau pasangan seseorang (bukan hanya simulasi), atau hewan, anak-anak, atau orang nonconsenting lainnya. Pedofilia juga gangguan psikoseksual di mana tindakan fantasi atau sebenarnya terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak-anak sebelum pubertas adalah berarti disukai atau eksklusif untuk mencapai rangsangan seksual dan kepuasan. Ini mungkin ditujukan terhadap anak-anak dari jenis kelamin yang sama atau anak-anak dari jenis kelamin lainnya. Beberapa pedofil yang tertarik pada kedua anak laki-laki dan perempuan. Beberapa tertarik hanya untuk anak-anak, sementara yang lain tertarik untuk orang dewasa maupun anak-anak.

Pedofilia didefinisikan oleh para profesional kesehatan mental sebagai gangguan mental, tetapi sistem hukum Amerika mendefinisikan bertindak atas dorongan pedofilia sebagai tindakan kriminal.

Fantasi sex yang digunakan seorang pedophil (pedo terhadap anak cowok) adalah dengan mengajak sodomi maupun menyodomi.

Orang-orang yang menikmati pornografi anak adalah pedofil. Beberapa pedofil secara seksual tertarik hanya terhadap anak-anak dan sama sekali tidak tertarik terhadap orang dewasa. Pedofilia biasanya kondisi kronis.

Ciri utama adalah :

  1. Berulang kali selama minimal 6 bulan, pasien memiliki keinginan kuat seksual, fantasi atau perilaku mengenai aktivitas seksual dengan anak belum matang seksual (biasanya usia 13 tahun atau di bawah).
  2. Hal ini menyebabkan penting distress klinis atau bekerja merusak, sosial atau berfungsi pribadi.
  3. Pasien adalah 16 atau lebih tua dan paling sedikit 5 tahun lebih tua dari anak.

Ketika pedofilia menjadi aktif secara seksual dengan seorang anak dia dapat :

  • Membuka baju anak.
  • Mendorong anak untuk menonton mereka masturbasi.
  • Menyentuh atau meraba-raba alat kelamin anak tersebut.
  • Paksa melakukan tindakan seksual pada anak.

Penyebab yang mendasari pedofilia tidak jelas. Meskipun kelainan biologis seperti hormon ketidakseimbangan dapat menyebabkan gangguan di beberapa individu, faktor biologis belum terbukti sebagai penyebab. Dalam banyak kasus kelakuan pedofilia tampak terkait dengan pelecehan seksual atau penelantaran alami selama masa kanak-kanak dan dengan atau kerdil emosional perkembangan psikologis. Penelitian juga telah menunjukkan bahwa anak laki-laki yang mengalami pelecehan seksual lebih cenderung menjadi pedofil atau pelanggar seks. Anak perempuan yang mengalami pelecehan seksual lebih sering menanggapi dengan terlibat dalam perilaku merusak diri sendiri, seperti penyalahgunaan zat atau prostitusi.

Karena pedofilia dianggap serius pelanggaran seksual, pasien yang didiagnosis dengan gangguan tersebut diharapkan untuk berpartisipasi dalam program pengobatan. Di antara bentuk-bentuk perawatan yang efektif untuk pedofilia yaitu kognitif dan terapi perilaku yang mempekerjakan pelatihan empati dan restrukturisasi pola pikir menyimpang dan terdistorsi. Pelatihan Empati mengajarkan pasien untuk melihat perilakunya dari sudut pandang korban. Upaya distorsi kognitif terapi untuk merestrukturisasi pasien menyimpang gagasan-misalnya, dengan memperkuat fakta bahwa pemaksaan terhadap anak-anak ke dalam kegiatan seksual adalah perilaku yang tidak pantas. Dalam beberapa obat kasus seperti cyproterone yang menekan aktivitas testosteron pada pria dapat efektif dalam mengurangi perilaku yang agresif dan dorongan seksual.

  1. Hasrat Pedophil brasal

Prilaku pedofilia dianggap sebagai kejatan di hampir semua negara. Namun tidak jelas kenapa sang pelaku bisa mengembangkan orientasi seksual kepada anak-anak. Ilmuwan Jerman berupaya menelusuri penyebabnya.

Sekelompok ilmuwan lintas institusi menyelidiki penyebab prilaku pedofil. Kendati beragam hasil penelitian sudah dipublikasikan terkait prilaku menyimpang itu, hingga kini ilmuwan belum berhasil menguak fungsi otak seorang pedofil, kata Pakar Psikologi dan Psikoterapi Jerman, Jorge Ponseti.

“MRT membuka jalan untuk mempelajari aktivitas dan struktur otak. Yang menyenangkan adalah kami tidak harus membedah kepala pelaku,” katanya. Penggunaan MRT serta merta menggandakan temuan terkait prilaku seorang pedofil.

Pakar medis misalnya menyusun karakter yang mengarah pada pelaku kejahatan seksual. “Pedofil biasanya menunjukkan penyimpangan dalam Neuropsikologi,” kata Ponseti. “Tingkat intelegensia-nya kira-kira lebih rendah delapan persen ketimbang rata-rata.”

“Yang menarik adalah usia korban berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan pelaku,” imbuhnya lagi. Jadi semakin bodoh seorang pelaku, semakin muda juga usia anak di bawah umur yang menjadi korbannya.

Selain itu temuan terbaru membuktikan, pedofil cendrung memiliki tubuh yang lebih pendek ketimbang rata-rata penduduk. Ilmuwan Kanada juga melaporkan, pedofil mengalami cedera kepala dua kali lipat lebih banyak ketimbang anak-anak pada umumnya.

  1. Penyakit atau Orientasi Seksual?

Kendati “tidak semua pedofil lantas menjadi pemerkosa anak-anak,” Ponseti mengaku pihaknya kesulitan membuat perbedaan ilmuah terkait potensi tindak kriminal di antara pedofil. Banyak yang tidak tahu, dunia kesehatan seksual selama ini menilai pedofilia sebagai gangguan mental.

William James Vahey buron FBI. “Pelaku pedofil terparah sepanjang sejarah,” kata seorang agen kepolisian federal AS soal Vahey.

Tapi hal itu cuma berlaku jika sang pedofil menyebabkan kerugian pada orang lain. “Menurut sistem klasifikasi psikologi Amerika, gangguan pedofilia cuma berlaku jika seseorang memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak dan menjalaninya,” kata Ponseti.

“Tapi jika sesorang cuma memiliki hasrat belaka tanpa lantas menjadi pelaku, kita bisa menyebutnya sebagai orientasi seksual.”

  1. Pria Pedofil dan Pria Sehat

Temuan tersebut kini dipublikasikan oleh Ponseti dan timnya di jurnal limiah”Biology Letters” milik Royal Society, Inggris. Studi itu juga mengungkap perbedaan wajah antara pedofil dan pria sehat. “Otak manusia memiliki mekanisme yang bisa membedakan usia seseorang pada wajahnya dan mengaktivkan berbagai model prilaku,” kata Ponseti.

Tiga tahum silam ilmuwan sejatinya sudah membuat studi serupa di Pusat Neurologi Universitas Kiel. Di sana mereka mempelajari gambar wajah proband yang terangsang secara seksual. Data yag dikumpulkan juga memuat citra wilayah otak yang aktif ketika empunya merasakan rangsangan seksual.

“Di wilayah korteks otak besar, terjadi analisa visual jika seorang pria hetero melihat perempuan yang berusia sama. Area yang sama juga akan aktif jika pelaku pedofilia melihat anak-anak yang sedang telanjang,” imbuhnya.

Kendati begitu Ponseti enggan menyebut hasil studinya sudah sempurna. “Kalau kami bisa mempelajari darah dan menjalankan analisa Neurotransmitter dan Genetika, mungkin hasilnya akan lebih lengkap,” ujarnya. Karena cuma mengandalkan data MRT, ilmuwan cuma bisa mengenali pria pedofil, tapi tidak mengungkap sebab di balik prilaku tersebut.

 

  1. Sanksi pelaku pedofilia menurut ketentuan Undang-undang Positif.
  2. Sanksi bagi pedofilia menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 287 (1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294. Pasal 292 Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Sedangkan hukuman lainnya menurut KUHP pasal 287 dan 292 menyebutkan bahwa masa hukuman terhadap pelaku pencabulan terhadap anak maksimal 9 tahun (pasal 287) dan maksimal 5 tahun (pasal 292)

  1. Sanksi bagi pedofilia menurut UU NO. 35 Tahun 2014 atas perubahan UU no.23 tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak

Menurut pasal 81 dan 82 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara serta denda minimal sebesar Rp 60 juta dan maksimal sebesar Rp 300 juta. Berikut isi pasal UU dan KUHP tersebut : UU No.23 tahun 2002 Pasal 81 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 82 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

 

Sanksi Bagi Pemegang Anggota Tubuh Anak Perempuan

Orang yang memegang bokong seorang anak dengan maksud untuk melakukan perbuatan cabul dapat dihukum pidana berdasarkan Pasal 82 jo. Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud anak berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak 2014”) adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Mengenai seseorang yang memegang bokong anak, pada dasarnya perbuatan tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 82 jo. Pasal 76E UU Perlindungan Anak 2014:

Pasal 76E UU Perlindungan Anak 2014:

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pasal 82 UU Perlindungan Anak 2014:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

UU Perlindungan Anak 2014 tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian perbuatan cabul. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada pengertian perbuatan cabul yang diberikan oleh R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb (hal. 212).

Oleh karena itu, jika seseorang memegang bokong anak dengan maksud memang untuk melakukan perbuatan cabul yang melanggar kesusilaan, yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak,maka orang tersebut dapat dipidana dengan Pasal 82 jo. Pasal 76E UU Perlindungan Anak 2014.

Putusan Mahkamah AgungNo. 442 K/Pid.Sus/2008 (putusan ini masih menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak – “UU Perlindungan Anak), terdakwa meraba bokong anak berumur 14 tahun yang menjaga warung, tempat terdakwa membeli rokok. Atas perbuatannya, terdakwa didakwa dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Dalam perkara ini Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah meyakinkan melakukan tindak pidana “memaksa anak untuk melakukan perbuatan cabul”, serta menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda Rp 60.000.000.- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Memang pasal yang digunakan tidak sama karena UU Perlindungan Anak telah diganti dengan UU Perlindungan Anak 2014. Tetapi pada dasarnya pengaturan tindak pidana dalam Pasal 82 UU Perlindungan anak serupa dengan ketentuan dalam Pasal 76E UU Perlindungan Anak 2014:

Pasal 82 UU Perlindungan Anak:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

 

  1. Sanksi bagi pedofilia menurt Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2016

 

Presiden Joko Widodo akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Perlindungan Anak, Rabu, 25 Mei 2016. Salah satu isi perpu tersebut mengatur hukuman kebiri bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak. Lalu, siapa yang bisa dikebiri?

Namun, apabila mengacu pada salinan perpu yang sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo, mereka yang akan dikebiri itu sudah disebut pada Pasal 81 Perpu UU Perlindungan Anak. Tepatnya, pada Pasal 81 ayat 3-7.

Pasal 81 ayat 7 secara teknis mengatur bahwa mereka yang akan dihukum kebiri adalah mereka yang disinggung pada Pasal 81 ayat 3, 4, dan 5. Adapun mereka adalah pendidik anak, pengasuh anak, aparat perlindungan anak, anggota keluarga, dan masyarakat sipil yang melakukan pelecehan seksual secara bersama-sama atau gang rape.

Nah, mereka yang telah disebut itu tidak serta-merta langsung dikebiri begitu ketahuan melakukan kejahatan seksual. Ada “syarat” khusus yang harus dipenuhi. Pertama, mereka sudah melakukan kejahatan seksual pada anak secara berulang sebagaimana diatur pada ayat 4. Kedua, pelaku menyebabkan korban terluka berat, sakit jiwa, terkena penyakit menular, terganggu alat reproduksinya, atau meninggal, sebagaimana diatur ayat 5.

Jika syarat-syarat itu terpenuhi, barulah pelaku yang terdiri atas tenaga pendidik, anggota keluarga, dan lain-lain tersebut boleh dikebiri. “Terhadap pelaku, sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dan 5, dapat dikenai tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik,” sebagaimana dikutip dari perpu yang sudah disahkan Presiden Jokowi.

Inti Pokok Perppu Nomor 1 Tahun 2016, Yang Sering Disebut Perppu Kebiri

Dengan pertimbangan bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketenteraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat, pemerintah memandang sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.

Pemerintah memandang perlu segera mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Atas dasar pertimbangan itu, Presiden Joko Widodo pada 26 Mei 2016 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perubahan yang dilakukan dalam Perppu ini adalah pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, sehingga berbunyi:

  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D (setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
  2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain;
  1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
  2. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D;
  3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;
  4. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;
  5. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik;
  6. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;
  7. Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.

Selain itu, di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) (dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok;
  2. Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan;
  3. Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi;
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selain itu ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E (setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
  2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
  3. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E;
  4. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
  5. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;
  6. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik;
  7. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;
  8. Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.

Di antara Pasal 82 dan Pasal 83, menurut Perppu ini, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) (dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok;
  2. Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan;
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal II Perpu yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada tanggal 25 Mei 2016 itu. (ES)

 

Daftar Pustaka

(https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20101121231936AAfap5D)

http://www.dw.com/id/darimana-hasrat-seksual-pedofil-berasal/a-17651137

http://www.kompasiana.com/triacahyapuspita/hukuman-bagi-pelaku-kejahatan-seksual-terhadap-anak_54f7964da33311c9708b483e

http://misterrakib.blogspot.co.id/2015/04/undang-undang-nomor-35-tahun-2014.html

KUHP…………………….

UU No. 35 Tahun 2014…………

Inilah Materi Pokok Perppu Nomor 1 Tahun 2016, Yang Sering Disebut Perppu Kebiri

Tinggalkan Balasan