Skip to main content

Hendra dan Gus Miek

Hendra dan Gus Miek

Kisah seputar kelihaian Gus Miek mengentaskan manusia dari jurang kekelaman, Penulis dapatkan dari seorang  jama’ah Dzikrul Ghafilin, sebut saja namanya Hendra, asal malang. Ia malang melintang di dunia malam Surabaya era 1980-an. Pria ini disadarkan Gus Miek di coffe shop Hotel Elmi Surabaya.” Di sudut keremangan, saya melihat sosok Gus Miek yang pakai topi koboy. Aneh, wajahnya bercahaya. Saya dekati beliau, ada senyum yang menentramkan hati. Uniknya, beliu tahu seluk beluk diri saya dan semua perjalanan hidup saya. Setelah ngobrol santai, beliau hanya bilamg singkat bahwa ibu saya yang rajin ibadah sekarang menangis di alam kubur saat melihat kondisi saya. Gus Miek menitipkan dari salam ibu  buat saya, “ Kata Hendra pada Penulis di Warung kopi Makam Sunan Ampel, Juma’at dinihari, 6 maret 2009.

Semenjak Pertemuan dengn Gus Miek itu, Hendra-yang tubuhnya dirajah tato-merasa menrindukan masjid.Saat mendengar info keberadaan Gus Miek, saat itu pula ia mengejar tokoh yang ia kagumi itu. “ Kalau beruntung ketemu, salaman, minta doa sama beliau,” Kata pria yang kini menekuni usaha perkebunan ini. Sampai saat ini, Hendra mengaku rajin mengikuti jama’ah Dzikrul Ghafilin. Setiap habis shalat , ia kirim Al fatihah dan kirim So’a buat kedua orang tuanya, ini sesuai petunjuk Gus Miek. “Tentu saya juga berdoa dan kirim al-Fatihah buat beliau (Gus Miek), Lanjutnya sambil mengisap kretek kesukaanya.

Dalam obrolan selama dua jam itu, Hendra banyak berkisah tentang teman –temanya yang insaf gara-gara bertemu Gus Miek.” Kami merasa benar-benar dirangkul oleh Gus Miek, beliaulah yang mengajarkan kami makna kehidupan. Tentang pentingnya silaturrahmi, keutamaan membaca Al Quran, dan banyak lagi, “ terang ayah berputra tiga ini. Hendra menganggap gurunya sebagai tangan yang membetotnya saar dirinya megap-megap tenggelam di lupr kemaksiatan. Tak lupa, ia juga menyuguhkan beragam kisah keramat tentang guru yang dicintainya itu.

Sebelum pamit, Hendra menitip harapan. “ Seandainya para kiai, para muballigh, dan para dai sekarang berani bertaruh kehormatan, harga diri, dan nama baiknya untuk berdakwah di tempat-tempat maksiat seperti Gus Miek, saya ragu mereka akan sanggup, “ Kata Hendra.

Ia mengusap matanya. Ada air yang urung menetes. Saya hanya tersenyum mendengarnya.

( Disadur dari buku Cermin Bening dari Pesantren. Rizal Mumazziq Zionis. Khalista Surabaya, Hal: 208-209)

Tinggalkan Balasan