Skip to main content

Edisi 1 Juni 2013

SUHAERI HADISASTO, SH.

Penulis adalah Sekdes Desa Ranu agung – Tiris

ABSTRAK

Sebait pepatah “ Sudah Jatuh Tertimpa Tangga lagi” sengaja penulis tukilkan dalam mengawali penulisan Tinjauan yuridis terhadap Penerapan pidana penjara dan denda dalam kasus pemerkosaan anak.

Tindak pidana pemerkosaan merupakan suatu persoalan yang sangat serius dalam kehidupan bermasyarakrat, karena selain menjadi beban berat baik pisik maupun psikis oleh korban, tindak pidana pemerkosaan ini merupakan persoalan yang membebani Negara. Sering kali kita membaca dan mendengar baik dari media cetak maupun dari media elektonik mengenai terjadinya tindak pidana pemerkosaan. Bahkan terjadinya tindak pidana pemerkosaan ini tidak hanya di kota-kota besar saja, yang relative lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, melainkan juga terjadi di pelososk-pelosok atau pedesaan yang relative masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat setempat, terutama pada kalangan masyarakat yang ekonominya lemah.

Sebagaimana kita mafhum bahwa, sejak tanggal 31 Desember 1981 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP ini merupakan salah satu produk hukum bangsa Indonesia yang mempunyai predikat “Karya Agung” dimana KUHAP sangat memperhatikan hk-hak seorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyelidikan , penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan oleh hakim, hingga pelaksanaan putusan. Dalam proses peradilan pidana baik tersangka (offender) maupun korban kejahatan (victim of crime) menghendaki keadilan. Bagi Offender menghendaki perkaranya diperiksa secara adil dengan mengindahkan hak-haknya serta aturan main yang telah ditentukan, namun bagi Victim of Crime juga menghendaki agar offender diadili dan kalau perlu dihukum seberat-beratnya, bahkan berharap adanya ganti rugi untuk memulihkan keadaan.

Sebuah realitas yang tidak terbantahkan bahwa, kepentingan dan hak-hak offender lebih diperhatikan dan diutamakan dari pada kepentingan dan hak-hak Victim of Crime itu sendiri. Bagaimana tidak, sejak awal proses pemerikasaan hak-hak offender dilindungi, pelaku kejahatan berhak memperoleh bantuan hokum, memperoleh perlakuan yang baik, dijauhkan dari penyiksaan, diberitahukan tentang kejahatan yang disangkakan kepadanya, hak memperoleh pemidaan secara manusiawi, bahkan hak untuk meminta ganti rugi manakala terjadi kekeliruan dalam proses perkara pidana, singkatnya segala hak dan atribut yang melekat pada offender sebagai manusia dikemas dalam KUHAP. Adapun hak victim of crime dikemas sangat minim, bahkan tidak diakomudir oleh KUHAP, walaupun kita mengetahui bahwa, derita yang dialaminya sudah dirasakan ketika terjadinya kejahatan, saat melapor hingga mengikuti proses persidangan. Trauma akibat akan menerima perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungannya. Hal ini berimplikasi pada enggannya victim of crime untuk melapor kejadian yang dideritanya, karena semula laporan itu bertujuan untuk mengurangi beban masalah yang dideritanya, menjadi permasalahan baru baik berupa cemooh dari masyarakat maupun dari aparatur penegak hukum yang terkadang kurang responsip dan tidak bersahabat, belum lagi karena adanya intimidasi dari offender terhadap victim of crime.

Kata Kunci : Tinjauan Yuridis, Pidana Penjara  dan denda, Pemerkosaan

 JURNAL SUHAERI HADISASTO

Tinggalkan Balasan