Skip to main content

Edisi 2 Desember 2012

Oleh : Fathul qorib

 

Pendahuluan

Dikalangan masyarakat perkawinan seolah-olah bukan merupakan suatu peristiwa yang sakral lagi. Kesucian perkawinan seringkali dinodai oleh ketidak setiaan salah satu pihak, sehingga seringkali pula menyebabkan pihak lainnya menderita dan tidak lagi merasakan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Pasal 1 Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, perkawinan adalah suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagai istri. dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[1].

Ketentuan di atas menampakkan bahwa pembentuk Undang-Undang berusaha membuat suatu perkawinan sebagai peristiwa yang sakral, terbukti dari adanya pernyataan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, akan tetapi ternyata didalam prakteknya, banyak kaum pria melakukan perkawinan baru secara diam – diam, baik secara sah maupun secara Islam (sirri).

Kenyataan di atas menjadikan, bahwa penghargaan antara suami terhadap istrinya pada umumnya sudah menurun, bahkan keyakinan untuk membentuk rumah tangga/keluarga yang kekal abadi juga sudah berkurang. Alasan yang dinampakkan memang logis, bahkan seringkali sesuai dengan alasan kemungkinan dilakukan Poligami (beristri lebih dari satu), seperti istri mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri mandul dan lain sebagainya, tetapi tidak ada pernyataan tegas bagaimana yang terjadi apabila suami yang sakit atau suami yang mandul. Kebanyakan materi dalam Undang-Undang perkawinan lebih mengutamakan kaum pria dan lebih memberikan peluang untuk berpoligami. Kebaikan dari itu semua, ada juga dalam suatu perkawinan, seorang suami benar-benar menyayangi istrinya, suami semacam ini tidak akan tenang di akhirat apabila melihat istrinya tidak bahagia. Suami semacam ini, disamping memikirkan masa depan anak atau anak-anaknya juga memikirkan masa depan istrinya (andanya). Dari sisi Islam yang seringkali menempatkan istri “di bawah” derajad suami, didalam hukumnya menyatakan ketegasannya untuk memasukkan istri sebagai ahli warisnya. Hukum perdata yang juga memberikan hak kepada seorang istri (janda) sebagai ahli waris suaminya, akan tetapi apabila dalam keluarga yang bersangkutan terdapat banyak anak kandung, sedangkan harta peninggalan yang ditinggalkan oleh suami selaku pewaris tidak banyak, maka bagian untuk jandanya juga terpengaruh.

[1] H. Junaedi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1999, halaman 38KOMPARASI HAK JANDA MATI DALAM HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM

Tinggalkan Balasan